Kawasan pantai di Legian dan Seminyak, Kabupaten Badung kerap menjadi destinasi utama para turis asing untuk menghabiskan waktu liburan. Salah satu kawasan di Seminyak, yakni Camplung Tanduk menjadi kawasan fenomenal yang diminati para turis asing untuk menghabiskan malam mereka.
Di jalan ini berderet cafe dan bar yang buka pada sore hingga dini hari. Kawasan ini kemudian dikenal sebagai pusatnya komunitas gay.
Lantas seperti apa sejarah awal mulanya Camplung Tanduk?
Pemangku Pura Dalem Camplung Tanduk, Ni Ketut Witasti (50) menceritakan awal mulanya nama Camplung Tanduk. Menurut Witasti, meski bukan warga asli Camplung Tanduk, ia mengetahui sejarah awal mula nama kampungnya itu dari suaminya I Made Diana (53) yang merupakan pemangku di Pura Dalem Camplung Tanduk.
"Suami saya itu kelahiran tahun 1968 kakaknya lebih tua lagi 5 tahun itu sudah ada nama ini Camplung Tanduk. Kalau cerita dari leluhurnya suami saya, Camplung (bunder) Tanduk itu nama pohon dan hanya satu-satunya di Pura Camplung Tanduk di Seminyak," kata dia ditemui di Seminyak, Minggu (27/11/2022).
Pohon Camplung Tanduk sudah ada di tanah Pura. Pohonnya memiliki buah seperti pisang emas. Buah dan daun dari pohon ini diyakini warga saat itu berkhasiat untuk pengobatan.
"Khasiatnya itu dulu, kita nunas (minta) secara Niskala memohon kepada beliau supaya penyakit biar sembuh untuk parem, minyak rambut. Kalau sekarang daunnya pakai param untuk mengobati keseleo (ditempel)," kata dia.
Daun pohon Camplung Tanduk dihancurkan, kemudian dicampur dengan bawang merah dan dibalurkan ke tubuh yang luka. Konon pohon dan buah serta daun itu tidak boleh digunakan secara sembarangan.
Tahun 90an Mulai Masuk Turis hingga Bar dan Kafe
Dengan perubahan yang sangat cepat, di tahun 1990-an sudah banyak turis yang masuk ke kawasan Seminyak dengan itu pula munculah banyak hotel, restoran dan bar/kafe.
Kafe/bar di sepanjang Jalan Camplung Tanduk itulah yang kemudian menawarkan sejumlah fasilitas untuk komunitas gay. Hingga akhirnya kini, Jalan Camplung Tanduk dikenal sebagai kawasan pusatnya komunitas gay.
Dengan kesan sebagai tempat khusus untuk komunitas gay, Witasti pun merasa prihatin. Ia berharap kawasan tersebut ditata kembali dengan lebih mementingkan kearifan lokalnya.
"Kami berharap kawasan ini lebih ditata agar keaslian Bali lebih menonjol. Memang kita memerlukan turis datang dan pariwisata yang bagus yang lebih baik lagi, tapi yang lebih kami inginkan keaslian budaya dipertahankan," pungkas dia.
Simak Video "Kondisi Pantai Kuta Abrasi hingga 30 Meter!"
[Gambas:Video 20detik]
(nor/dpra)