Pernahkah Anda mengamati rumah-rumah waga di desa-desa di Bali? Beberapa orang mungkin kaget ketika melihat betapa luas dan banyaknya bangunan di sana. Rumah-rumah warga di Bali dengan beberapa bangunannya yang saling terpisah ternyata punya makna tersendiri lho!
Memasuki rumah Bali, Anda akan melihat seperti masuk ke kompleks perumahan. Sebab, di dalamnya terdapat beberapa bangunan.
Bangunan-bangunan itu memiliki fungsinya masing-masing. Secara umum, rumah adat Bali terdiri atas pura keluarga atau sanggah, bale manten, bale dauh, bale gede, bale delod, lumbung, pawaregen, dan angkul-angkul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari laman resmi Dirjen Kebudayaan RI, pembangunan rumah adat Bali mempertimbangkan konsep asta kosala kosali yang merupakan pengetahuan tentang arsitektur tradisional Bali. Pada intinya, asta kosala-kosali berisikan tentang cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci.
Peletakan ruangannya juga memperhatikan sudut dan arah mata angin. Seperti contohnya pura keluarga yang menghadap ke arah Gunung Agung yang dianggap suci. Sementara tempat membuang kotoran seperti toilet dan dapur akan menghadap ke laut.
![]() |
Dilansir dari detikTravel, salah satu desa yang rumah penduduknya masih mengadopsi konsep ini adalah Desa Pesalakan dan Desa Cagan di Tampaksiring, Gianyar.
Pemandu dari Hoshinoya Bali, Kadek Budi menjelaskan, ada alasan tersendiri mengapa orang Bali memutuskan untuk memisahkan ruangan-ruangan di rumah menjadi bangunan tersendiri. Ini dapat dikaitkan dengan keselamatan ketika terjadi bencana.
"Keuntungan yang didapat dari bangunan seperti ini adalah ada space (ruang kosong) di tengah yang bisa kita manfaatkan saat ada upacara di rumah," katanya.
"Selain itu juga saat ada bencana alam, kita bisa pergi ke tempat yang kosong. Bangunan terpisah juga untuk antisipasi, ketika terjadi kebakaran tidak semua rumah terbakar," imbuhnya.
Hanya saja, konsep rumah adat Bali ini semakin sulit dipertahankan. Apalagi di perkotaan yang lahannya semakin sempit dan mahal.
"Di kota yang sudah modern, harga tanah terlalu mahal. Ketersediaan lahan juga berkurang dan angka kelahirannya tinggi. Jadi alasan kenapa di kota sudah jarang ada rumah adat Bali lebih karena harga dan kepadatan penduduk," ujarnya.
(iws/hsa)