Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), meroket drastis sepanjang tahun 2024. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Mataram, jumlah pekerja yang di-PHK di daerah itu meningkat tujuh kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
"Data 2022 ada empat (kasus) PHK, 2023 ada tujuh kasus PHK, dan 2024 ada 52 kasus PHK," kata Kepala Disnaker Kota Mataram, Rudi Suryawan, kepada detikBali, Rabu (19/2/2025).
Menurut Rudi, meningkatnya pekerja yang di-PHK terjadi karena beberapa faktor. Mulai dari perusahaan yang terpaksa tutup, karyawan pensiun, hingga adanya kerugian yang mengakibatkan perusahaan berhenti beroperasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi menjelaskan PHK adalah hal yang wajar dan pasti terjadi setiap tahun. Salah satu perusahaan di Mataram yang mem-PHK karyawannya adalah Grand Legi.
Menurut Aryadi, hotel yang berlokasi di Jalan Sriwijaya, Mataram, tersebut memutus para pekerjanya setelah pemilik hotel meninggal dunia. "Owner-nya meninggal. Jadi, belum tahu ahli warisnya," kata dia.
Bisnis Perhotelan di Mataram dalam Bayang-bayang PHK
Bisnis perhotelan di Kota Mataram kini dibayang-bayangi potensi pengurangan karyawan atau PHK menyusul kebijakan efisiensi anggaran. Pada awal tahun ini, salah satu hotel di Mataram mem-PHK sekitar 48 karyawannya.
"Sangat disayangkan awal tahun ada berita seperti ini, jadi kami kaget karena Grand Legi kan termasuk grup yang cukup kuat dia," kata Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa, Rabu.
Menurut Adiyasa, hotel-hotel di perkotaan sebagian besar mengandalkan fasilitas meetings, incentives, conventions, and exhibitions (MICE). Efisiensi anggaran bahkan menghapus sejumlah kegiatan pemerintah pusat di sejumlah hotel di Mataran.
Dia menilai hal tersebut membuat potensi PHK semakin besar. "Namanya orang bisnis, biasanya yang di-cover dari pendapatan, mestinya pengurangan jam kerja dulu," jelasnya.
Menurut Adiyasa, pengurangan jam kerja akan terjadi jika efisiensi benar-benar terjadi. Dia menyebut pengurangan jam kerja menjadi tanda-tanda usaha tersebut sedang sakit.
Adiyasa menilai kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat lebih menakutkan dibandingkan saat pandemi COVID-19 lalu. Sebab, saat pandemi, pemerintah hanya melakukan refocusing anggaran dan masih ada kegiatan yang bisa dilakukan.
(iws/hsa)