Sugeng Purnomo, seorang guru honorer di pelosok Gunung Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), seolah tak kenal lelah. Ia mengabdi selama 16 tahun 11 bulan meski gajinya tak seberapa.
"Sudah 16 tahun 11 bulan saya menjadi guru SDN Tambora. Saat ini mengajar kelas III," kata Sugeng kepada detikBali, belum lama ini.
Pria 36 tahun ini awal mengajar pada 2008 silam menggunakan ijazah SMA. Saat ini statusnya masih sebagai guru honorer daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran 11 Mei 1989 ini dikontrak oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima di bawah naungan Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Dikbudpora) sejak 2015.
"Besaran gajinya Rp 700 ribu per bulan. Tapi dibayar dua bulan sekali," kata guru yang hingga saat ini belum diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) itu.
Ia menilai gaji yang diterima itu dirasa jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keluarga. Namun besaran gaji itu, dianggap lebih banyak ketimbang pada saat pertama mulai mengabdi sebagai guru SD Tambora.
"Dulu 2008 pertama mengabdi, digaji hanya Rp 100 ribu per bulan dari dana BOS. Tahun-tahun berikutnya naik Rp 200 ribu per bulan," katanya.
Selain mendapat gaji kontrak dari Pemkab Bima sebesar Rp 700 ribu, saat ini Sugeng juga mendapatkan tunjangan guru khusus daerah tertinggal atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
"Sejak tiga tahun terakhir dapat tunjangan guru 3T sebesar Rp 1,5 juta dari pemerintah pusat," akunya.
Selain menjadi guru honorer daerah, Sugeng juga bekerja sampingan sebagai penjual pisang untuk menutupi kekurangan kebutuhan rumahnya. Pisang hasil bumi di sekitar Gunung Tambora itu dijual ke wilayah Kabupaten Sumbawa.
"Selain itu, saya juga peladang jagung serta pekebun kopi yang panennya hanya satu kali dalam setahun," kata bapak tiga anak ini.
16 tahun mengabdi di SD Tambora, Sugeng menjelaskan wajib bangun subuh atau paling telat pukul 06.30 Wita. Pada waktu tersebut, ia harus segera berangkat menuju sekolah yang ditempuh sekitar 1 jam.
"Tempat tinggal saya di Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu. Jarak sekolah dengan rumah sekitar 8 kilometer dengan waktu tempuh satu jam," jelasnya.
Menurut dia, lamanya waktu perjalanan karena akses yang dilalui adalah jalan setapak. Jika musim kemarau kondisinya berdebu, kalau musim hujan kondisinya licin dan berlumpur.
"Jalan yang sudah diaspal sekitar 5 kilometer. Sisanya 3 kilometer adalah jalan setapak," katanya.
Pada momentum Hari Guru Nasional 2024, Sugeng menyampaikan sejumlah harapan. Ia ingin fasilitas serta sarana dan prasarana sekolah di daerah 3T, seperti di SDN Tambora, ditingkatkan agar memadai.
"Di sekolah tempat saya mengajar juga tidak ada akses jaringan internet. Kalau ada kegiatan ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) harus numpang ke sekolah lain yang jaraknya 12 kilometer," katanya.
Ia berharap penempatan guru yang berstatus PNS di SDN Tambora adalah asli dari Kecamatan Tambora. Pasalnya guru PNS dari daerah lain yang ditempatkan selama ini, hanya namanya saja yang ada tapi tidak pernah terlihat orangnya.
"Guru PNS ada yang ditempatkan di sini silih berganti, tapi tidak pernah ada orangnya. Sehingga tugas-tugas mereka diambil oleh kami yang notabene guru honorer," tuturnya.
Sugeng juga berharap guru-guru di daerah 3T bisa lebih diperhatikan oleh pemerintah. Salah satunya dipermudah ikut seleksi PPPK.
"Kami ingin agar proses pengangkatannya (seleksi) secara terpisah atau khusus," harap alumnus jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Universitas Nahdlatul Wathan (UNW) 2013 ini.
(nor/iws)