Kenaikan harga beras mulai dirasakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat dampak kekeringan panjang yang memicu gagal panen di 200 hektar lahan persawahan. Data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB mencatat kerugian hasil panen sekitar 1.400 ton.
Kondisi ini memicu kekhawatiran terkait ketersediaan pangan, meskipun pemerintah daerah sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi situasi ini.
Wakil Pimpinan Wilayah (Wapimwil) Bulog NTB, Musazdin Said, menyebutkan bahwa saat ini stok beras di gudang Bulog NTB mencapai 34.700 ton. Ketahanan stok beras diperkirakan cukup hingga empat bulan ke depan. Ia berharap bahwa pada April 2025 sudah bisa dimulai panen berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengantisipasi kekurangan stok akibat gagal panen, Bulog NTB telah menyiapkan beberapa langkah. Instrumen pertama adalah bantuan pangan, yang menyasar petani terdampak sebagai penerima. Selain itu, Bulog juga memanfaatkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang kini dipasarkan lebih luas, termasuk ke kios-kios dan permukiman di seluruh NTB.
"Wilayah Lombok Utara pun telah kami jangkau dengan distribusi beras SPHP ini," ungkap Musazdin di Mataram, Kamis (31/10/2024).
Saat kondisi normal, Bulog NTB menyediakan 600-700 ton beras SPHP per bulan. Namun, dengan adanya kekeringan berkepanjangan, stok tersebut ditingkatkan menjadi 1.300 ton per bulan guna menjaga stabilitas harga beras di pasar.
Musazdin juga mengonfirmasi adanya rencana pengadaan beras dari luar NTB untuk berjaga-jaga apabila kekurangan stok semakin mendesak. Menurutnya, NTB memiliki peran dalam mendukung distribusi beras ke provinsi tetangga, seperti Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Target Produksi Padi Tetap Terjaga Meski Gagal Panen
Sementara itu, Kepala Distanbun NTB, Taufieq Hidayat, menyampaikan bahwa total lahan yang gagal panen akibat kekeringan mencapai 200 hektar atau setara dengan 242 ribu are.
Meski demikian, Taufieq memastikan stok pangan NTB tetap aman. Pada triwulan ketiga 2024, NTB berhasil memproduksi 1,262 juta ton gabah kering giling (GKG) dari target 1,4 juta ton lebih. Dengan kebutuhan pangan sekitar 962 ribu ton GKG, produksi tersebut masih mencukupi kebutuhan daerah.
Ia menambahkan bahwa program pompanisasi dari Kementerian Pertanian, yang telah mengirimkan sekitar 4.100 unit pompa, turut membantu mengurangi dampak kekeringan.
"Dengan bantuan pompanisasi, lahan yang biasanya hanya bisa ditanami sekali bisa ditanami dua kali atau bahkan tiga kali. Dengan begitu, dampak kenaikan harga beras terhadap petani dapat diminimalkan," jelas Taufieq.
Taufieq juga menyoroti tingkat konsumsi beras di NTB, yang tercatat mencapai 98,7 kilogram per kapita per tahun, berada di atas rata-rata nasional yang berkisar 81 kilogram per kapita per tahun. Meski harga beras cenderung naik, ketersediaan pangan yang mencukupi diharapkan dapat menjaga kestabilan kebutuhan pangan masyarakat NTB.
(dpw/dpw)