Dinkes Klaim Angka Stunting di NTB Turun Jadi 12,6 Persen

Dinkes Klaim Angka Stunting di NTB Turun Jadi 12,6 Persen

Nathea Citra - detikBali
Selasa, 29 Okt 2024 16:02 WIB
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) NTB Lalu Hamzi Fikri saat diwawancarai di Kantor Dinkes NTB di Mataram, Selasa (29/10/2024). (Foto:Β Nathea Citra/detikBali)
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) NTB Lalu Hamzi Fikri saat diwawancarai di Kantor Dinkes NTB di Mataram, Selasa (29/10/2024). (Foto:Β Nathea Citra/detikBali)
Mataram - Dinas Kesehatan (Dinkes) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengeklaim angka stunting di provinsi itu pada 2024 turun menjadi 12,6 persen dari angka sebelumnya 13,49 persen. Hal itu berdasarkan data Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM).

"Kami akan terus masif dalam menurunkan angka stunting lagi. Kita jangan puas dengan angka segitu, masih banyak PR (pekerjaan rumah) kami," kata Kepala Dinkes NTB Lalu Hamzi Fikri saat ditemui di kantornya di Mataram, Selasa (29/10/2024).

Fikri berharap kasus stunting di NTB bisa terus menurun melalui berbagai program yang telah dilakukan. Salah satunya lewat pemberian makanan tambahan (PMT) yang berasal dari bahan pangan lokal untuk ibu hamil dan balita. Program tersebut dijalankan melalui pos pelayanan terpadu (posyandu).

Peneliti Universitas Mataram (Unram) Moh Taqiuddin mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB agar konsisten mengatasi permasalahan stunting di daerah itu. Terutama di desa-desa dengan angka stunting tinggi, seperti Desa Senaru dan Desa Pringgabaya di Kabupaten Lombok Timur.

"Secara metodologi, kami pilih dua desa ini karena masuk dalam kabupaten dengan angka stunting tertinggi. Lalu kami breakdown (rincikan) Lombok Timur di desa mana saja (angka stunting tertinggi). Saya kira pemda harus concern dalam mengatasi angka stunting," kata Taqiuddin.

Taqiuddin lantas membeberkan hasil temuannya di lapangan. Menurutnya, kasus stunting di Desa Pringgabaya, Lombok Timur, terjadi karena persoalan sanitasi, pola asuh, hingga minimnya literasi terkait kesehatan.

Ia mencontohkan seorang ibu tamatan sekolah menengah atas (SMA) yang ditemuinya di daerah itu. Ketika ditanya terkait pola mengurus anak, dia berujar, perempuan itu mengaku mendapat informasi terkait penanganan stunting dari internet.

"Tetapi begitu dipraktikkan, balik lagi ke snack (anaknya diberi snack instan), tidak sesuai dengan pengetahuan yang dia dapatkan," tutur Taqiuddin.

Taqiuddin berharap pemerintah daerah memiliki basis data yang jelas terkait angka stunting di daerah tersebut. Salah satunya dengan memperkuat kebijakan berbasis riset.




(iws/iws)

Hide Ads