Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Ihsan Hamid menyoroti jabatan tujuh Menteri Koordinator (Menko) Kabinet Merah Putih era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru saja dilantik. Tujuh Menko itu akan mem-back up atau melapisi kinerja Gibran yang dinilai belum berpengalaman.
"Munculnya tujuh Menko yang sebetulnya bukan eksekutor melainkan koordinatif, sifatnya bisa dibaca bagian dari back-up terhadap posisi Wapres Gibran yang dibaca masih agak minim pengalaman di kancah nasional. Ini bukan semata kebutuhan teknis, tetapi bisa dibaca sebagai kebutuhan politis," ulas Ihsan saat diwawancarai detikBali, Senin (21/10/2024).
Ihsan juga menyoroti pengaruh mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih terasa di kabinet Prabowo. Belasan menteri merupakan warisan era Jokowi. Dia menilai hal itu wajar karena Prabowo menganggap dirinya terpilih sebagai presiden atas andil Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya masih melihat hampir 15-an orang masih diisi orang lama yang punya kedekatan dengan Jokowi. Ini bukan sepenuhnya politik profesional, tetapi politik akomodatif. Prabowo menyadari sepenuhnya dia terpilih menjadi presiden tidak lepas dari andil besar pengawalan Jokowi," beber peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDek) itu.
"Saya dalam beberapa aspek masih menganggap sebetulnya postur yang cukup gemuk tetapi lebih melihat mengafirmasi kepentingan politik koalisi. Termasuk bisikan Jokowi," sambungnya.
Banyak pihak menilai postur kabinet dengan 48 menteri, enam pejabat setingkat menteri, dan 55 wakil menteri (wamen) terlalu gemuk. Sebab, Ihsan melanjutkan, Prabowo-Gibran berupaya melakukan politik akomodatif dalam menyusun struktur kabinet. Di sisi lain, tetap memenuhi prinsip zaken kabinet. Yakni, mengisi kabinet dengan orang-orang profesional sesuai bidangnya.
Ihsan menilai postur kabinet gemuk Prabowo-Gibran memang sebuah kebutuhan. Indonesia saat ini sedang menghadapi banyak tantangan global yang butuh solusi kongkret di tengah persoalan bangsa yang semakin kompleks.
"Penambahan postur kabinet, atau pemecahan satu kabinet menjadi beberapa kabinet memang harus dilakukan. Misalnya Kementerian Dikbud Ristek Dikti yang awalnya satu menjadi tiga. Ini saya kira memang harus dilakukan, mengingat beban di satu kementerian memang berat. Ini relevan dan penting. Begitu juga Kemenkumham," jelasnya.
"Kalau bicara soal nomenklatur penataan kelembagaan ini bukan sepenuhnya karena suka-sukanya Prabowo tetapi lebih karena kebutuhan menjawab persoalan bangsa," sambungnya.
Ihsan memprediksi akan ada problem yang muncul di kabinet gemukPrabowo-Gibran. Efektivitas kerja kabinet akan melambat.
"Karena ada pemecahan nomenklatur di beberapa kementerian, saya kira pasti akan terhambat. Akan ada penyesuaian, regulasi, personalia atau struktur organisasi. Ini akan berdampak pada pelambatan kinerja. Kementerian yang dipecah tentu tidak bisa berakselerasi dengan cepat, tuntas, efektif. Mereka butuh waktu 6-12 bulan," jelasnya.
Ihsan berharap menteri kabinet Prabowo-Gibran segera bekerja. Tidak lagi fokus untuk lebih banyak mengakomodasi kepentingan lain di struktur kementerian.
"Kami berharap segera bekerja dan jangan terjebak pada kepentingan kiri-kanan untuk mengakomodasi lagi kepentingan si A,B, dan C. Yang jelas Prabowo banyak memilih figur," tandas Ihsan.
(hsa/hsa)