Jemaah Muhammadiyah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), melaksanakan salat Id di halaman Kampus Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) pada Jumat (21/4/2023) pagi. Diperkirakan ribuan jemaah memenuhi halaman sejak pukul 07.30 Wita.
Dalam pelaksanaan salat Idul Fitri 1444 Hijriah, Falahuddin selaku Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU) NTB bertindak sebagai khatib, dan Kepala Lembaga Pengkajian Pengembangan dan Pengamalan Islam Kemuhammadiyahan (LP3IK) Ummat Anugerah Arifin bertindak sebagai imam.
Kampus Ummat adalah satu dari tiga lokasi salat id jemaah Muhammadiyah di Kota Mataram. Dua sisanya, yakni Kompleks Perguruan Muhammadiyah SMA Muhammadiyah Mataram, dan Masjid Darul Arqom PWMU NTB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara keseluruhan, di NTB sendiri terdapat 53 lokasi salat id jemaah Muhammadiyah di NTB.
Kepala Lembaga LP3IK Ummat Arifin mengaku telah berkomunikasi dengan aparatur pemerintah dan pihak keamanan. Ia berkomitmen pelaksanaan salat Id ini agar tidak mengganggu umat muslim lain yang masih berpuasa.
Termasuk juga umat non muslim yang akan beraktivitas di sekitar Kampus Ummat.
"Kami berharap ini bisa mengedukasi masyarakat, bahwa Muhammadiyah sudah biasa menggunakan metode hisab dalam penentuan 1 Syawal dan bukan sekali ini saja berbeda dengan pemerintah," ucapnya.
Secara internal Muhammadiyah, kata Arifin, tidak ada prinsip menyalahkan yang lain terkait penentuan 1 Syawal 1444 H. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H berpegang pada keyakinan bahwa hisab hakiki melalui metode wujudul hilal sebagai cara efektif penentuan awal lebaran.
"Kami berjalan dengan keyakinan bahwa hisab hakiki dengan metode wujudul hilal adalah cara yang efektif menentukan 1 Syawal yang hasil perhitungannya tepat terjadi pada tenggelamnya matahari kemarin. Sehingga, hari ini merayakan Idul Fitri," jelas Arifin.
Lebih lanjut Arifin menyatakan keinginan Muhammadiyah dalam membangun nilai-nilai toleransi. Salah satunya, agar masyarakat mampu menerima perbedaan dengan lapang dada.
Baca juga: 37 Napi Rutan Negara Dapat Remisi Idul Fitri |
"Mari mencoba melihat ribuan kesamaan yang kita miliki dan kita redam satu perbedaan yang mungkin muncul hari ini," ajak Arifin.
Sehingga pada akhirnya terbangun situasi kedewasaan sosial di antara masyarakat di NTB.
Senada dengan Arifin, Falahuddin menambahkan perbedaan dalam pelaksanaan ritual ibadah merupakan keniscayaan. Seperti terjadi dalam penentuan jatuhnya pelaksanaan salat Idul Fitri.
Ia menyebut dalam ibadah sehari-hari saja masih banyak perbedaan karena perbedaan interpretasi dan metodologi. Namun yang paling penting, sikap saling menghargai dan membangun toleransi.
(BIR/iws)