Masyarakat Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), melaksanakan tradisi dile obor atau pawai obor. Tradisi maleman pawai obor ini digelar pada malam ganjil di 10 malam terakhir bulan suci Ramadan atau 27 Ramadan.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tradisi maleman pawai obor telah diwariskan para orang tua dan masih terjaga hingga saat ini. "Pawai obor ini untuk menjaga tradisi, di malam ke-27 Ramadan itu dari dulu sudah ada tradisi dile obor atau jojoran," kata Ketua Remaja Masjid Baiturrahman Kekait Muhammad Farid, Selasa (18/4/2023) malam.
Farid menerangkan pelaksanaan pawai obor pada malam ke-27 Ramadan masih dilakukan secara konvensional. Di mana obor yang digunakan terbuat dari bambu dan diisi minyak tanah. Meski sudah ada cara-cara modern, remaja masjid di Kekait masih mempertahankan cara lama untuk menjaga tradisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini dilakukan dengan konvensional. Walaupun di beberapa kota sudah menggunakan obor elektrik seperti lampion, flash handphone, dan lain-lain. Namun, nilai atau rasanya akan berbeda," ungkapnya.
Pawai obor diikuti dengan meriah oleh masyarakat setempat, terbukti dengan banyaknya peserta yang mengikuti pawai obor, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Selain menjaga tradisi, kegiatan tersebut juga untuk menyiarkan agama Islam. Karena peserta sepanjang jalan membaca salawat nabi.
"Jadi, bagi kami tradisi-tradisi baik ini akan terus dijaga biar menunjukkan bahwa kami memiliki tradisi lokal. Sehingga akan menggugah semangat dari warga masyarakat, khususnya yang berada di kampung kami lebih mencintai dan menghargai tradisi yang bersifat positif ini," katanya.
Adapun rute yang dilalui peserta pawai obor tersebut, yaitu mulai dari halaman Yayasan Pondok Pesantren At-Tahzib, mengarah ke selatan menuju Dusun Puncang, kemudian masuk ke Dusun Kekait 2, Kekait 1, dan Kekait Thaibah. Kemudian berakhir kembali di halaman Yayasan Pondok Pesantren At-Tahzib.
(irb/gsp)