Tradisi weh-buweh atau weh uweh di Demak setiap malam 21 Ramadan mengajarkan anak untuk saling berbagi. Dalam tradisi ini, anak-anak saling menukar makanan yang mereka bawa dari rumah tanpa menghitung nilainya.
Hal itu terlihat di gang-gang dan Jalan Kyai Turmudzi, kampung Sampangan, Domenggalan, dan Domenggalan baru, Kamis (20/3) malam. Anak-anak hingga orang tua meramaikan tradisi weh-buweh.
Para orang tua menyiapkan lapak di depan rumahnya, menyuguhkan jajanan ringan, es campur, jajanan tradisional, dan sebagainya. Suguhannya tergantung kemampuan masing-masing. Ada juga yang menyuguhkan balon, kembang api, es krim, uang Rp 5 ribu, dan lain-lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Sementara itu anak-anak kecil membawa nampan berkeliling dari rumah ke rumah menukarkan jajanan yang ia bawa. Sedangkan para orang tua mengucapkan 'weh-buweh', mengenalkan pada anak-anak pada tradisi itu. Ada juga orang tua yang ikut berkeliling.
Tradisi itu berlangsung sejak magrib hingga berkumandangnya azan isya. Sejumlah perantau yang sudah mudik turut memeriahkan tradisi tersebut.
Seperti halnya sanak saudara Fina (65) yang datang dari Pati dan Jogja. Mereka turut meramaikan sembari berkunjung ke keluarga yang lebih tua.
![]() |
"Ada, ini ada yang dari Pati, dari Jogja. Iya, meramaikan," kata Fina di rumahnya, kampung Domenggalan, Kelurahan Bintoro, Kamis (20/3/2025) malam.
Fina menuturkan malam 21 Ramadan dikenal dengan anjuran bersedekah. Oleh karenanya para orang tua juga mengajarkan anak-anak saling berbagi melalui tradisi weh-buweh.
"Untuk melatih anak-anak, ini kan maleman (malam 21 Ramadan). Maleman kan mengeluarkan sodaqoh gitu, melatih anak-anak untuk berbagi gitu," terangnya.
Warga lain, Hajjah Titin (72) juga berkeliling dari rumah ke rumah membawa martabak manis yang biasa ia jual. Ia juga menukarkan martabaknya dengan balon untuk diberikan ke cucunya.
Tokoh warga setempat, Talkish (70) mengatakan tradisi weh buweh ada sejak ia belum lahir.
"Acara ini merupakan acara tahunan setiap malam 21 Ramadan. Setiap ada acara ini dia (perantau) selalu teringat acara weh-uweh," kata Talkish saat ditemui di depan rumahnya di Sampangan, Jalan Baru RT 4 RW 4.
"Weh-uweh ini intinya saling memberi, melatih anak agar tidak pelit. Menjadi anak yang dermawan, ngasih apapun yang dimiliki," imbuh takmir Musala al Athhar itu.
Talkish bilang tradisi itu terus berkembang di berbagai wilayah.
"Tradisi ini biasanya dilakukan satu RW, ada yang pindah ke daerah sana terus mendirikan seperti ini juga ada. Di Botorejo itu biasanya dilakukan malam 23 ramadan. Ini yang dari Botorejo juga datang ke sini, nanti saat malam 23 yang dari sini ya ikut ke sana," terangnya.
(dil/rih)