Kasus Pernikahan Anak di NTB Tertinggi Kedua di Indonesia

Mataram

Kasus Pernikahan Anak di NTB Tertinggi Kedua di Indonesia

Ahmad Viqi - detikBali
Jumat, 27 Jan 2023 17:50 WIB
Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A2KB) Provinsi NTB Wismaningsih Drajadiah.
Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A2KB) Provinsi NTB Wismaningsih Drajadiah. (Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Kepala Dinas Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A2KB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Wismaningsih Drajadiah mengatakan kasus pernikahan anak di NTB tertinggi kedua nasional. Menurut Drajadiah pengajuan dispensasi pernikahan anak awalnya terbanyak dari Pulau Lombok.

"Benar data yang diberikan oleh Save the Children Indonesia. Tapi sekarang malah banyak diajukan di Pulau Sumbawa," kata Drajadiah, Jumat (27/1/2023).

Drajadiah mengatakan jumlah remaja dan anak-anak yang memeriksa kehamilan juga meningkat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan NTB pada 2021, remaja dan anak-anak yang memeriksa kehamilan mencapai 6.300 kasus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kira ini juga catatan kami. Kami kaget kan, kok banyak yang memeriksa kehamilan usia remaja," katanya.

Drajadiah menjelaskan salah satu penyebab tingginya pernikahan anak di NTB adalah faktor ekonomi. Menurutnya anak-anak itu terjebak menikah karena orang tua mereka tidak memiliki biaya pendidikan.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan data dalam lima tahun terakhir, kasus pernikahan anak di NTB tertinggi terjadi pada 2021. "Meningkat ke dua besar nasional sesuai data KPPA (Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak). Tapi, secara kasus kami rendah ya, karena penduduk kami rendah juga," imbuh Drajadiah.

Menurut Drajadiah hukuman untuk pelaku yang menikahkan anak di NTB telah dihapus. Pelaku yang dimaksud antara lain orang tua, penghulu, kepala dusun atau ketua RT. Hal itu berdasarkan Peraturan Daerah NTB Nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.

"Sanksi hukum itu dihilangkan di dalam Perda itu sebenarnya diganti pakai sanksi sosial. Karena ada aturan di atasnya yang mengatur tentang sanksi ini," pungkasnya.




(iws/BIR)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads