Potret Kehidupan Kampung Pemulung Dekat Rumah Pribadi Gubernur NTT

Kupang

Potret Kehidupan Kampung Pemulung Dekat Rumah Pribadi Gubernur NTT

Yufen Ernesto - detikBali
Kamis, 10 Nov 2022 23:04 WIB
Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto: Yufen Ernesto
Kupang -

Sebanyak 24 KK dan 125 jiwa warga Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggantungkan hidup dengan memungut sisa-sisa sampah plastik. Mirisnya, pemukiman mereka hanya berjarak sekitar 150 meter dengan rumah pribadi Gubernur NTT.

Mereka menjual botol bekas dan gelas air mineral dengan harga yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Botol bekas dijual dengan harga 1 kilogram Rp 3000, sedangkan gelas air mineral dengan harga Rp 6000-8000. Harga tidak menentu kadang naik turun," ujar Sakaria Salukh, salah satu warga kampung Pemulung Aqu Ada kepada detikBali beberapa waktu lalu.

Mata pencaharian mereka sebagian besar pemulung sampah. Ada juga yang sekedar mengisi waktu dengan bekerja sebagai buruh bangunan.

Sejumlah ibu-ibu terlihat menggendong anak-anaknya sambil menyusui. Anak yang berumuran sekolah dasar turut membantu bapak dan ibunya membersihkan botol bekas.

Walaupun hidup dalam keterbatasan ekonomi, mereka sangat ceria dan sopan santun ketika ada kunjungan dari orang luar. Kebiasaan mereka ketika ada kunjungan orang luar selalu menyuguhkan sirih dan pinang. Hali ini adalah ciri khas orang Timor ketika sebelum memulai obrolan lebih lanjut.

Rumah mereka ada yang berukuran 4Γ—5 meter dan 5Γ—6 meter beratap dan berdinding seng bekas. Lantai rumah masih beralaskan tanah. WC dan kamar mandi pun jauh dari kata layak.

Tidak Pernah Mendapat Bantuan Pemerintah

Sebanyak 24 KK dan 125 jiwa warga Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggantungkan hidup dengan memungut sisa-sisa sampah plastik. Mirisnya, pemukiman mereka hanya berjarak sekitar 150 meter dengan rumah pribadi gubernur NTT. Foto: Yufen ErnestoSebanyak 24 KK dan 125 jiwa warga Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggantungkan hidup dengan memungut sisa-sisa sampah plastik. Mirisnya, pemukiman mereka hanya berjarak sekitar 150 meter dengan rumah pribadi gubernur NTT. Foto: Yufen Ernesto Foto: Sebanyak 24 KK dan 125 jiwa warga Kampung Pemulung Aqu Ada di RT 11, RW 03, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggantungkan hidup dengan memungut sisa-sisa sampah plastik. Mirisnya, pemukiman mereka hanya berjarak sekitar 150 meter dengan rumah pribadi gubernur NTT. Foto: Yufen Ernesto



Pasca pandemi COVID-19 dan bencana Seroja mereka mengaku tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah Kota Kupang.

"Kami tidak dapat bantuan dari pemerintah, biasanya dapat dari mahasiswa saat berkunjung. Ada yang bawa beras, mie instan, dan pakaian layak pakai," terang Sakaria Salukh.

Mereka bermukim di lahan penghijauan milik Pemerintah Kota Kupang seluas 100 meter persegi sudah puluhan tahun. Lahan itu berbentuk lereng dan sangat miring. Sangat rentan bila terjadi banjir.

"Saat hujan lebat sudah berulang kali banjir masuk rumah," kata Sakaria Salukh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebutuhan air minum mereka peroleh dari bak penampung milik RS SK Lerik Kota Kupang. Itupun tidak ada pipa penyalur air.

Mereka peroleh saat bak penampung sudah penuh dan tumpah, di situ mereka tampung di ember yang sudah dilubangi lalu menyambungkan dengan selang air ke setiap rumah.

Sementara Imanuel Tualaka menceritakan sejak tahun 1997 sudah bermukim di kampung pemulung, awalnya hanya 6 KK lama kelamaan bertambah jadi banyak.

"Kami setiap hari hanya bekerja seperti ini. Tidak ada pekerjaan lain. Dalam satu hari hasil pungutan sampah tidak menentu, kadang hanya dapat sekitar 2-3 kilogram. Kalau kebutuhan mendadak semisal kehabisan beras dan tuntutan biaya sekolah anak-anak terpaksa harus menjual yang sudah terkumpul untuk memenuhi kebutuhan," katanya.

ADVERTISEMENT

Kehidupan mereka amat sederhana dan jauh dari kata mewah. Namun semangat mereka untuk menyekolahkan anak-anak sangat tinggi.

"Cukup kami saja yang jadi buta huruf, kami tidak mau anak-anak seperti kami. Walaupun hidup susah intinya anak harus sekolah," beber Imanuel Tualaka sambil meneteskan air mata.

Penghasilan mereka setiap hari hanya sebesar Rp 20.000-30.000 tergantung hasil pemungutan botol bekas dan gelas air mineral yang didapatkan.

Meski bermukim di atas lahan milik Pemerintah Kota Kupang mereka tetap hidup rukun dan damai. Mereka juga tidak tahu sampai kapan tinggal menetap di atas lahan tersebut.




(nor/hsa)

Hide Ads