Kasus korban begal yang ditetapkan tersangka karena melawan pelaku begal hingga menyebabkan pelakunya meninggal dunia mendapatkan respons dari Lembaga Bantuan Hukum. Salah satunya adalah pusat bantuan hukum mangandar (PBHM) NTB.
Ketua lembaga PBHM, Yan Mengandar Putra, menilai langkah polisi yang menetap Amaq Santi menjadi tersangka adalah keputusan buru-buru dan tidak tepat karena penyelidikan hingga penyidikan dilakukan tidak maksimal.
"Penetapan status tersangka terhadap Amaq Santi adalah keputusan yang terburu-buru dan tidak tepat, kami menduga Polres Lombok Tengah dalam menyidik tidak secara maksimal dalam gelar perkaranya yang tidak melibatkan fungsi pengawasan dan fungsi hukum Polri serta tidak lebih dulu meminta pendapat akademisi atau ahli," jelas Yan Mangandar dalam keterangannya Kamis (14/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakannya, pendapat akademisi atau ahli hukum sangat penting untuk mempertimbangkan segala hal. Tidak saja dari sisi uraian pasal, tapi juga nilai keadilan yang hidup masyarakat dengan setidak-tidaknya mempertimbangkan fakta.
"Amaq Santi awalnya adalah korban kejahatan Curas oleh 4 orang pelaku dan sempat melakukan penyerangan dengan senjata tajam terhadap Amaq Santi, yang akibatnya bukan saja kendaraan sepeda motornya, tapi juga nyawanya," tuturnya.
"Dalam kondisi tekanan jiwa yang hebat seperti itu, tidak ada pilihan lain dan harus seketika selain dia terpaksa melakukan pembelaan diri dengan melumpuhkan para pelaku menggunakan senjata tajam," sambungnya.
Hal ini menjadi alasan pembenar untuk Amaq Santi tidak dipidana, sebagaimana ketentuan pasal 49 ayat 2 KUHP terkait pembelaan darurat (Noodweer Exces) karena penusukan yang dilakukan kepada kedua pelaku begal tanpa lebih dulu memiliki niat jahat untuk menganiaya apalagi membunuh.
"Sehingga patut disimpulkan Amaq Santi tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan proses hukumnya di Polres Lombok Tengah harus dihentikan atas nama Keadilan," tegas Yan.
Lebih jauh Yan mengatakan, ada dua contoh kasus yang sama yang pernah terjadi di Indonesia dan kasus tersebut sama-sama dihentikan proses hukumnya.
Pertama, kasus pembunuhan begal yang dilakukan oleh pelaku atas dasar pembelaan diri yang ditangani oleh Polres Metro Bekasi Kota pada tahun 2018.
Kasus kedua yakni pada tahun 2015 yang terjadi di wilayah hukum Polres Dompu.
Kasus tersebut adalah kasus pembelaan diri dari tindak kejahatan oleh korban kejahatan hingga menyebabkan pelaku meninggal.
Contoh kasus tersebut harus menjadi pertimbangan bagi kasus korban begal yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Kedua kasus tersebut dihentikan dan tidak disidang di pengadilan sampai sekarang. Perlu diingat, kasus pencurian dengan kekerasan di NTB cukup tinggi sebagaimana release Polda NTB pada tanggal 16 maret 2021 yang menangkap 385 orang pelaku kejahatan dari 294 kasus kejahatan yang berhasil diungkap hanya dalam 2 minggu dan terbanyak adalah pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan," terangnya.
Yan Mangandar mengingatkan, perkara ini telah menjadi perhatian masyarakat dan Polres Lombok Tengah harus segera mengambil sikap untuk menghentikan proses hukum Amaq Santi, supaya isu ketidakadilan ini tidak terus menjadi bola liar dan mengganggu kondusifitas Lombok Tengah khususnya dan NTB pada umumnya dengan tunduk pada Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
"Telah diatur mengenai penghentian penyidikan untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan hukum dengan menyelenggarakan gelar perkara khusus dengan wajib memaksimalkan fungsi pengawasan dan fungsi hukum Polri serta melibatkan ahli," ujarnya.
(kws/kws)