Makanan ini akan dipakai warga setempat untuk melengkapi sarana dalam ritual Ngulihang di masing-masing pura keluarga di hari keempat setelah Galungan.
Sekilas, entil mirip dengan lontong yang berbahan dasar beras. Dari sisi ukuran dan bentuknya, entil relatif kecil dan agak gepeng.
Perbedaan lainnya ada pada daun yang dipakai sebagai pembungkusnya. Kalau lontong pakai daun pisang, entil dibuat menggunakan daun Kalingidi.
Daun Kalingidi inilah yang membuat entil yang baru didinginkan usai digodok sekilas memiliki rasa mint.
Rupa daun Kalingidi juga mirip dengan daun Kunyit yang agak tebal. Namun tanamannya tidak masuk ke dalam keluarga temu-temuan karena tidak memiliki umbi.
Untuk keperluan upacara, entil akan disajikan dengan beberapa lauk seperi urutan (jeroan babi) yang diasap atau didendeng, tum daun ketela pohon, serta tum pakis.
Namun oleh Ni Nyoman Srinasih, pemilik warung Dedy di Desa Sanda, entil kini diolah dan disajikan agar bisa dikonsumsi kapan saja.
"Awalnya (Entil) hanya bisa dinikmati enam bulan sekali. Saat upacara Ngulihang. Empat hari setelah Galungan. Kemudian saya berinisiatif kenapa tidak disajikan sewaktu-waktu dan tidak harus menunggu Galungan dulu," kata Srinasih.
Agar bisa dikonsumsi siapa saja, Srinasih juga mengganti beberapa lauknya dengan daging ayam yang diasap, kemudian direbus, dan selanjutnya disuir. Air rebusan daging ayam itu lantas dipakai sebagai kaldu yang dicampur santan dan Bumbu Gede.
Bumbu yang beberapa di antaranya berbahan jahe, lengkuas, dan kunyit itu lumrah dipakai dalam masakan Bali.
Pelengkap lainnya berupa sayur urap yang terdiri dari pakis dan tauge, keripik talas, serundeng, dan kacang kedelai yang digoreng.
"Ayamnya saya panggang dulu agar ada rasa asap. Sebagai pengganti urutan asap," jelasnya.
Ia mengaku daun Kalingidi tidak bisa lepas dari proses pembuatan entil. Karena daun itulah yang membuat entil berbeda dengan lontong.
"Itu yang bikin beda. Ada rasa-rasa mint. Saya pernah pakai daun pisang. Daun bambu juga pernah. Janur pernah. Tapi rasanya beda," ungkapnya.
Daun itu, sambung Srinasih, banyak dijumpai di tegalan atau lereng Gunung Batukaru.
Semula, daun Kalingidi termasuk tanaman liar dan hanya dicari menjelang Galungan untuk dipakai sebagai pembungkus entil.
Sebagai pembungkus, daun Kalingidi bisa membuat entil tahan selama dua hingga tiga hari. Tidak cepat basi. Asalkan tidak terkena panas.
"Sekarang daun Kalingidi dipelihara oleh beberapa warga. Yang beli saya sendiri. Seratus lembar Rp 20 ribu. Dulu saat Galungan dicari. Setelah Galungan, dibersihkan karena tanaman liar," bebernya.
Ia juga menuturkan, proses pembuatan entil seperti membuat lontong. Sehari-harinya, Srinasih akan membuat entil sampai 130 biji yang digodok selama lima jam dengan menggunakan cubluk atau panci besar.
Sembari merebus, ia akan membuat lauk pelengkapnya serta kuahnya yang berbahan dasar bumbu gede, kaldu hasil rebusan daging ayam, dan santan. "Seperti bikin opor biasa," ujarnya.
Di warung yang dikelola Srinasih, entil menjadi menu utamanya. Warung itu dibuka sejak 2019 lalu. Itupun setelah entil dipopulerkan dalam beberapa event lokal maupun nasional.
Lokasi warungnya juga mudah dijumpai karena ada di pinggir jalur utama Pupuan yang menghubungkan Tabanan-Singaraja.
Bila datang dari arah Tabanan dan masuk wilayah Sanda, Warung Dedy ada di sisi kanan jalan. Sebaliknya, bila datang dari arah Singaraja, letaknya ada di sisi kiri jalan.
Satu porsi entil yang disajikan di warung ini terdiri dari dua entil dan lauknya yang terdiri dari ayam suir, sayur urap, keripik talas, kacang kedelai yang digoreng. Seporsi entil dijual seharga Rp 12 ribu. (*)
(nor/nor)