Masyarakat Suku Nasal di Kabupaten Kaur, Bengkulu, memiliki tradisi unik saat Lebaran, yakni tradisi Sengkure. Tradisi ini merupakan pertemuan warga dan saling bermaafan usai menjalankan ibadah puasa.
Tradisi Sengkure ini menjadi daya tarik tersendiri di desa-desa yang ada di Kabupaten Kaur. Biasanya, ritual Sengkure ini dilaksanakan pada hari Raya Idul Fitri, tepatnya 1 Syawal sekitar pukul 14.00 WIB hingga 17.00 WIB.
Penggiat Budaya Kaur Meki Elyantoni menjelaskan Sengkure merupakan representasi dari sosok makhluk buruk dan menakutkan yang berasal dari cerita rakyat turun-temurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok Sengkure ini, kata dia, diperankan oleh pemuda desa yang mengenakan kostum unik berbahan ijuk dari pohon aren, tikar tua, serta topeng menyeramkan. Pakaian tersebut kemudian diikat dengan tali rafia atau akar tumbuhan agar terlihat semakin autentik.
Begitu semua persiapan selesai, kata dia, arak-arakan Sengkure pun dimulai. Sosok ini dibawa berkeliling kampung, melewati gang-gang sempit hingga jalan-jalan utama, sambil diiringi tabuhan musik khas daerah. Masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa pun berkerumun menyaksikan pawai ini dengan penuh antusias.
Dia mengatakan, yang menarik dalam prosesi ini terjadi interaksi langsung antara Sengkure dan warga. Banyak warga yang berjabat tangan dengan Sengkure. Hal itu melambangkan permintaan maaf dan memulai lembaran baru setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Bagi para perantau yang pulang kampung, tradisi ini menjadi ajang pertemuan yang memudahkan mereka untuk bersilaturahmi dengan sesama warga desa.
"Tradisi ini tidak mengandung unsur mistis sama sekali, melainkan murni sebagai permainan rakyat yang sudah ada sejak zaman dahulu," katanya saat dihubungi detikSumbagsel, Rabu (2/4/2025).
Meki menjelaskan, cerita tentang Sengkure pada mulanya sering diceritakan kepada anak-anak yang sulit tidur agar mereka lebih cepat terlelap dan tidak berkeliaran di malam hari. Seiring waktu, cerita tersebut berkembang menjadi tradisi tahunan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meskipun zaman terus berubah, kata dia, masyarakat Suku Nasal tetap berupaya menjaga keberlanjutan tradisi Sengkure. Bagi mereka, ritual ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga bentuk pelestarian budaya lokal yang mempererat rasa kebersamaan.
Menurut Meki, dengan semakin banyaknya anak muda yang ikut serta dalam pelaksanaan Sengkure, harapan untuk mempertahankan tradisi ini di masa depan semakin besar.
"Ini adalah bagian dari identitas kami sebagai warga Suku Nasal. Selain menjadi hiburan, Sengkure juga menciptakan suasana Lebaran yang lebih meriah dan penuh kehangatan," jelasnya.
Tak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tradisi ini juga berpotensi menjadi daya tarik wisata budaya yang unik. Jika dikemas dengan baik, Sengkure bisa menjadi salah satu ikon budaya Kabupaten Kaur yang mampu menarik wisatawan untuk berkunjung setiap Hari Raya Idul Fitri.
(csb/csb)