Pulau Bali dikenal dunia dengan adat, seni, budaya, dan tradisi yang lestari hingga saat ini. Namun, dari ragam warisan turun temurun yang ada, ternyata ada yang sudah ang terancam punah karena tidak ada regenerasi. Salah satunya gong suling dari Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali.
Kesenian gong suling ini ada sejak 1965 silam, gong yang didominasi oleh pemain suling ini mengalami kesulitan personel hingga hampir punah bak ditelan zaman.
Namun, keberadaan sekeha atau personel kesenian gong suling ini masih bisa ditemui. Dari puluhan orang anggota sekeha gong suling, kini hanya sisa empat orang sekeha dan hanya dua orang yang masih aktif megambel atau gong suling.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diantaranya yang aktif, I Ketut Nyantra (76), pemain gong suling, dan I Nyoman Deker (65), keduanya asal Lingkungan Dauhwaru, Kelurahan Dauhwaru. Keduanya mahir meniup suling untuk gong suling.
Berikut penelusuran detikBali terkait keberadaan gong suling di Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana. Bertepatan dengan odalan di Pura Pasar Jembrana, detikBali secara khusus meminta dua perintis gong suling untuk memainkan suling bersama sekehe gong dari lingkungan Dauhwaru.
Kemudian anggota sekehe gong kebyar lain yang mengiringi prosesi upacara odalan, ikut meniup suling yang dibawa Ketut Nyantra dan I Nyoman Deker.
Sembari mengikuti rangkaian upacara odalan, dua maestro gong suling ini mengisahkan awal berdirinya gong suling.
"Wenten papat sane sisa, bin dadua sampun lingsir ten kuat (ada empat yang tersisa, lagi dua sudah lansia tidak kuat)," kata Ketut Nyantra, diakui juga I Nyoman Deker, kepada detikBali saat ditemui di rumahnya, Minggu (22/5). Diceritakan Ketut Nyantra dan I Nyoman Deker, gong suling ini sempat eksis di zamannya.
Kesenian gong suling ini berdiri atau pertama dibentuk pada tahun 1965, yang diprakarsai beberapa pengelingsir yang ada di Lingkungan Dauhwaru pada saat itu.
"Dari sekeha nyucuk atau membuat atap rumah dari buyuk, kumpul-kumpul, hingga menjadi sekeha suling," katanya pada detikBali, Selasa (24/5).
Di samping itu, kata Nyantra, mereka sering bertemu untuk kumpul di perempatan jalan desa sambil memainkan suling.
"Ke mana-mana selalu bawa suling saat itu. Sampai apel ke rumah cewek pun bawa suling, tapi ditaruh di atas pagar dulu," kenang Ketut Nyantra, yang saat ini sebagai Jro Mangku.
Ketut Nyantra mengungkapkan, saat merintis gong suling awalnya hanya 15 orang sekehe demen. Kemudian bertambah menjadi 20 orang. Setelah eksis dikenal banyak orang sering dapat undangan acara pernikahan atau nyambutin atau tiga bulanan anak. Bahkan, sempat ke pementasan PKB sekitar tahun 1967. Waktu itu, hanya 4 personel yang masih remaja selebihnya sudah menikah.
"Zaman itu awalnya diberi upah Rp50 ribu," tambah Nyoman Deker.
Bedanya dengan gamelan pada umumnya, gong suling lebih banyak suling. Untuk personel suling sendiri terdiri dari 12 orang, mulai jenis suling swir, warangan, calung, dan jublag.
Seiring perkembangan zaman gong suling jarang ada memainkan. Sejak tahun 1970, karena personelnya sudah banyak kesibukan keluarga, ada juga yang meninggal. Namun perangkat musiknya semua masih ada hingga sampai sekarang.
"Kalau ada orang yang mesangi atau janji, diundang untuk tampil," kata Nyoman Deker.
Hanya sedikit generasi muda yang melanjutkan gong suling. Karena untuk memainkan suling sangat sulit, butuh waktu khusus untuk belajar meniup suling. Sehingga saat ini, sudah sedikit sekali yang mengetahui, bahkan bisa memainkan gong suling.
(irb/irb)