Eks Kapolres Ngada Tersangka Pencabulan Dipecat, Langsung Banding

Eks Kapolres Ngada Tersangka Pencabulan Dipecat, Langsung Banding

Tiara Aliya Azzahra - detikBali
Selasa, 18 Mar 2025 10:01 WIB
Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja
Foto: Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (dok. Polri)
Bali -

Mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja resmi dijatuhi hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) alias dipecat. Tidak terima dipecat, Fajar langsung mengajukan banding.

Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menjatuhkan vonis PTDH untuk Fajar itu berlangsung pada Senin (17/3/2025).

"Atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding, yang menjadi bagian dari hak milik pelanggar," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/3/2025), dikutip dari detikNews.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kesempatan yang sama, Karowabprof Divpropam Polri Brigjen Agus Wijayanto mengatakan sejatinya setiap pelanggar dalam sidang KKEP diberi waktu tiga hari untuk mengajukan banding. Namun, Agus berujar, sudah langsung menyatakan banding.

Selanjutnya, Fajar diwajibkan menyerahkan memori banding. Begitu memori diterima, Polri akan membentuk Komisi Banding untuk selanjutnya dilaksanakan sidang banding.

ADVERTISEMENT

"Kami harapkan bisa secepatnya nanti pelanggar menyerahkan memori banding dan kami siapkan sidang banding tanpa kehadiran pelanggar," pungkasnya.

Sebelumnya, dalam sidang KKEP Polri, Fajar dinyatakan bersalah atas kasus asusila terhadap anak di bawah umur. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan pelanggaran yang dilakukan Fajar merupakan perbuatan tercela.

"Memutuskan sidang KKEP dengan sanksi etika, yaitu perilaku melanggar sebagai perbuatan tercela," kata Trunoyudo.

"Diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri," ucap Truno.

Sidang kode etik ini selesai setelah berlangsung selama tujuh jam. Dalam sidang itu polisi mengundang delapan saksi. Sebanyak tiga saksi di antaranya hadir secara langsung.

Sosok yang hadir langsung adalah istri Fajar yang berinisial ADP dan dua orang ahli, yakni psikolog dan laboratorium forensik.

Sebagai informasi, pada ranah pidana, Fajar telah ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba dan asusila. Dia juga telah ditahan di rumah tahanan (Rutan) Bareskrim Polri.

Fajar diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa. Hal itu diketahui berdasarkan pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Biro Wabprof).

"Hasil dari penyelidikan, pemeriksaan melalui kode etik dan lewat Wabprof, ditemukan fakta bahwa FWLS telah melakukan pelecehan seksual dengan anak di bawah umur sebanyak tiga orang. Dan satu orang usia dewasa," kata Trunoyudo, Kamis (13/3/2025).

"Saya akan menyebutkan anak 1, anak 2, dan anak 3," lanjutnya.

Ketiga korban masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun. Sedangkan korban dewasa ialah SHDR yang berusia 20 tahun.

KPAI Soroti Upaya Banding AKBP Fajar

KPAI menyoroti langkah Fajar mengajukan banding setelah dinyatakan bersalah atas kasus asusila terhadap anak di bawah umur dan dipecat dari Polri. KPAI memandang langkah tersebut menunjukkan situasi darurat perlindungan anak.

"Dengan putusan itu saya mengapresiasi tapi dengan mengajukan banding itu menunjukkan bahwa ada situasi yang sangat darurat dalam perspektif perlindungan anak, terutama TPKS karena pengajuan banding dalam konteks etik tentu akan beradu argumen bahwa itu bukan tindak pidana yang berat, padahal jelas-jelas kekerasan seksual," kata Ketua KPAI Ai Maryati kepada wartawan, Senin.

Ai memandang perlu adanya penegasan sangkaan kasus terhadap pelaku. Menurutnya, tindakan yang dilakukan pelaku terhadap korban masuk ke dalam kejahatan seksual.

"Ketika ada pembacaan bahwa terduga pelaku melakukan pelecehan seksual itu perlu dipertegas, kita ini punya aturan perundangan di dalam UU Perlindungan Anak ada pencabulan dan persetubuhan, dan di dalam UU TPKS ada tindak kekerasan seksual yang di mana diawalinya pelecehan itu, mohon maaf, itu lebih pada interaksi dan itu lebih pada hanya sekadar ujaran, bahasa tubuh misalnya," jelasnya.

"Tapi dari temuan kepolisian berdasarkan 3 korban anak dan satu dewasa itu jelas-jelas kejahatan seksual sehingga untuk dipukul rata menjadi sebuah tindak pelecehan seksual dengan terminologi tersebut di sidang etik menurut saya kurang tepat," sambungnya.

Ai lantas mengajak seluruh pihak mengawal putusan etik tersebut. Ia juga mengajak seluruh pihak memperkuat nalar peraturan perundangan yang saat ini berlaku.

"Mari sama-sama kita lihat dan kita kawal betul bahwa sidang putusan etik menunjukkan tersangka melakukan tindakan perbuatan pidana atau perbuatan tercela yang menjadi perbuatan pelanggaran HAM sangat berat. Itu yang harusnya ditunjukkan dalam sidang etik ini sebetulnya dan hasil putusan sudah menjawab itu," jelasnya.

"Bukan menjadi pelecehan, justru ini adalah kalau dalam terminologi kejahatan perlindungan anak adalah kejahatan seksual dan dalam UU TPKS itu adalah jelas, kekerasan seksual. Jadi mari kita perkuat nalar atas aturan perundangan di dalam bahasa-bahasa hukum kita," tambahnya.

Artikel ini sudah tayang di detikNews, baca selengkapnya di sini!




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads