Fakta Kasus Korupsi SPI Unud: Disusun Tanpa Dasar Hukum-Berubah Jadi IPI

Round Up

Fakta Kasus Korupsi SPI Unud: Disusun Tanpa Dasar Hukum-Berubah Jadi IPI

Tim detikBali - detikBali
Sabtu, 04 Nov 2023 08:32 WIB
Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana (Unud) Ni Luh Putu Wiagustini di PN Tipikor Denpasar, Jumat (3/11/2023).
Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana (Unud) Ni Luh Putu Wiagustini di PN Tipikor Denpasar, Jumat (3/11/2023). (Foto: Aryo Mahendro/detikBali)
Denpasar -

Sidang kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menyeret Rektor Unud nonaktif I Nyoman Gde Antara dan tiga staf di kampus tersebut terus bergulir. Sejumlah fakta baru terungkap dalam persidangan.

Terbaru, penyusunan tarif SPI Unud disebut dilakukan tanpa dasar hukum sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Selain itu, pungutan uang pangkal dari yang sebelumnya disebut SPI, kini berubah menjadi Iuran Pengembangan Institusi (IPI).

Hal itu terungkap berdasarkan kesaksian Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi Bisnis Unud Ni Luh Putu Wiagustini. Simak fakta-faktanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyusunan Tarif SPI Tanpa Dasar Hukum

Wiagustini hadir dalam persidangan dengan kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penyusun Tarif SPI sejak 2018. Dia pun membeberkan dirinya ketika menyusun tarif SPI yang kemudian diimplementasikan di fakultas atau program studi (prodi) dengan peminat yang cukup banyak.

Wiagustini menyebut dirinya hanya berbekal Surat Keputusan (SK) Rektor Unud ketika menyusun tarif SPI. "(Dasar hukum) SPI waktu itu ada SK (surat keputusan) Rektor. Rektornya saat itu Bu Raka Sudewi," kata Wiagustini saat ditanya tim jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Denpasar, Jumat (3/11/2023).

"Saya nggak lihat aspek hukumnya. Saya nggak lihat regulasinya," imbuh Wiagustini.

Wiagustini mengaku menggunakan patokan atau benchmark dari tiga universitas dalam penyusunan tarif SPI Unud. Yakni, Universitas Airlangga, Universitas Andalas, dan Universitas Brawijaya.

Setelah mendapat gambaran tarif SPI dari tiga kampus tersebut, dia membuat naskah akademik terkait penyusunan tarif. Namun, Wiagustini tidak menjelaskan secara detail naskah akademik tersebut.

"Kami menghasilkan tarif yang tertuang di dalam naskah tadi. Kami hanya setor SPI dalam bentuk buku (naskah akademik). Kami tidak sampai susun (menerbitkan) surat keputusan (SK)," tuturnya.

JPU Dino Kries Miardi membenarkan Universitas Brawijaya menjadi salah satu kampus yang dijadikan patokan oleh saksi dalam menyusun tarif SPI. Bedanya, Universitas Brawijaya menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dalam menyusun tarif SPI-nya.

"SPI mereka (Unud) itu menggunakan benchmarking tiga universitas itu. Tapi dari yang kami pelajari bahwa Universitas Brawijaya dalam menentukan tarif (SPI) menggunakan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK. Nah, ini (Unud) nggak ada (dasar hukum PMK-nya)," kata Dino.

Padahal, lanjutnya, Unud sudah menentukan semua tarif layanannya ke dengan dasar hukum PMK. Namun, tidak dengan SPI.

"Sedangkan di Universitas Brawijaya, semua tarif layanan masuk ke PMK. Besarannya (SPI di Universitas Brawijaya) juga ada di PMK. Tapi, besaran (SPI di Unud) hanya termuat di SK Rektor," jelasnya.

Menurutnya, Unud sebagai lembaga negara tidak dapat serta merta menentukan tarif dan besaran, hingga memungut SPI hanya berbekal SK Rektor. Harus ada dasar hukum lain, salah satunya PMK agar pungutan SPI menjadi sah.

SPI Berubah Jadi IPI

Wiagustini juga membeberkan bahwa hingga kini Unud masih memungut SPI. Hanya saja, nama atau istilahnya berganti menjadi Iuran Pengembangan Institusi (IPI) sejak penerimaan mahasiswa jalur mandiri tahun angkatan 2023.

"SPI dipungut setiap tahun. Sampai kemarin (2022 lalu). (Sekarang) namanya IPI. Pungutannya beda," kata Wiagustini.

Wiagustini menjelaskan perbedaan SPI dan IPI hanya dari aspek prosedur pembayarannya. Menurutnya, nominal SPI wajib dipilih oleh para lulusan SMA yang ingin berkuliah atau menjadi calon mahasiswa Unud. Setelah memilih nominal dan dinyatakan lulus seleksi jalur mandiri pada prodi yang dituju, maka calon mahasiswa diwajibkan membayar sesuai nominal SPI yang sudah dipilih sejak awal mendaftar, agar resmi jadi mahasiswa.

Berbeda dengan SPI, IPI mengusung alur pembayaran uang yang berbeda. Pada IPI, lulusan SMA dapat mendaftar kuliah jalur mandiri di Unud, mengikuti ujian seleksi penerimaan mahasiswa, hingga dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa.

Setelah itu, para lulusan SMA yang sudah resmi jadi mahasiswa Unud tersebut dipersilahkan membayar IPI yang sudah disepakati. Hanya saja, Wiagustini tidak merinci nominal IPI yang harus dibayar oleh calon mahasiswa pada program studi (prodi) atau fakultas tertentu.

"Kalau IPI itu (pembayarannya) berdasarkan (mahasiswa) setelah lulus. Sebelumnya (SPI) itu bayarnya sebelum jadi mahasiswa. Kalau IPI itu setelah jadi mahasiswa," jelas Wiagustini.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Doni Kries Miardi mengatakan perbedaan yang mencolok terletak pada status wajib pada SPI dan IPI. Dia menemukan fakta bahwa SPI di Unud merupakan faktor kelulusan. Bobotnya, 40 persen dari total hasil ujian seleksi.

"Bedanya bahwa SPI itu sebagai syarat kelulusan di tahun pertama. Tahun-tahun selanjutnya, tidak. Bobotnya 40 persen," kata Dino.

Pengubahan nama dan prosedur pembayaran memang atas saran dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Menurutnya, Unud memang harus berhati-berhati dalam menerapkan pungutan pada seleksi mahasiswa baru jalur mandirinya.

"Intinya mereka lebih berhati-hati ketika (para lulusan SMA) diterima menjadi mahasiswa. Kalau SPI, sebelum (jadi mahasiswa) kan harus ngisi dahulu. Wajib (mengisi) nominalnya berapa. Kalau nggak diisi, nggak bisa jadi calon mahasiswa," jelasnya.

Yanuar Siregar, pengacara terdakwa I Made Yusnantara menganggap SPI dan IPI hanya berbeda nama. Namun, prinsip pungutannya sama.

"Kami sudah sempat tanyakan bahwa (IPI dan SPI) ini sama saja. Beda namanya saja. Lalu di mana esensi perbedaannya? Toh, sama-sama (mahasiswa) memberikan dana (kepada pihak kampus)," kata Yanuar.

Pengacara Tuding Kesaksian Wakil Dekan FEB Bohong

Kasus dugaan korupsi SPI Unud menyeret empat terdakwa, yakni Rektor Unud nonaktif I Nyoman Gde Antara serta staf Unud Nyoman Putra Sastra, I Ketut Budiartawan, dan I Made Yusnantara. Yanuar Siregar, pengacara terdakwa I Made Yusnantara mengkritisi kesaksian Wakil Dekan II FEB Unud Ni Luh Putu Wiagustini.

Menurut Yanuar, kesaksian Wiagustini dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penyusun Tarif SPI sejak 2018 tidak jujur. Salah satunya, tidak menyebut dengan jelas asal-usul dana pembangunan sarana dan prasarana (sarpras) yang dikatakan dari SPI.

"Dari mana dia tahu (pembangunan sarpras) itu sumbernya SPI atau yang lain? UKT (uang kuliah tunggal) misalnya. Kalau berdasarkan keyakinan, ya nggak bisa. Dia kan orang ekonomi. Harusnya bicara menggunakan data," kata Yanuar di PN Tipikor, Denpasar, Jumat.

Dia juga mengkritisi Wiagustini yang menyusun tarif SPI berdasarkan informasi implementasi di kampus lain yang didapat dari internet. "Satu kebohongan dari saksi adalah tidak ada studi banding yang dilakukan. Harusnya turun langsung. Cek kebenarannya seperti apa penentuan SPI di tiga kampus itu (Universitas Brawijaya, Andalas, dan Airlangga)," ujarnya.

Sebelumnya, Wiagustini bersaksi terkait kondisi sarpras di kampus Unud sebelum diberlakukan SPI sejak 2018. Ia menyebut kondisi sarpras Unud ketika itu sangat memprihatinkan.

"Karena satu gedung yang (gentengnya) bocor. Kalau kuliah kursinya dipindahin karena (sudah) reyot," kata Wiagustini dalam sidang.

Wiagustini menuturkan ada fakultas di Unud yang bahkan tidak memiliki gedung sendiri, sehingga mahasiswanya harus berpindah-pindah kelas. Kondisi sarana dan prasarana seperti itu terlihat sejak 2014, sebelum akhirnya SPI mulai diberlakukan empat tahun kemudian.

Hingga pada 2019 atau setahun sejak SPI mulai diberlakukan, Unud mulai membangun sarprasnya. Dimulai dengan membangun gedung BH Fakultas Ekonomi Bisnis, beserta fasilitasnya. Pembangunan gedung itu, dikatakan Wiagustini menelan dana SPI hingga Rp 19 miliar.

"Pembangunan (sarpras) sampai saat ini banyak (dilakukan) di gedung dekanat di bukit (kampus Unud di Jimbaran). Karena kebijakan pimpinan bahwa semua akan kuliah di bukit," kata Wiagustini.




(iws/iws)

Hide Ads