Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana (Unud) Ni Luh Putu Wiagustini menghadiri sidang sebagai saksi atas perkara dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Terungkap, penyusunan tarif SPI Unud dilakukan tanpa dasar hukum sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Wiagustini hadir dengan kapasitasnya sebagai Ketua Tim Penyusun Tarif SPI sejak 2018. Dia bersaksi bagaimana dirinya menyusun tarif SPI yang nantinya diimplementasikan di fakultas atau prodi dengan peminat yang cukup banyak.
Pertama, Wiagustini bersaksi bahwa dalam menyusun tarif SPI, dirinya hanya berbekal Surat Keputusan (SK) Rektor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Dasar hukum) SPI waktu itu ada SK (surat keputusan) Rektor. Rektornya saat itu Bu Raka Sudewi," kata Wiagustini saat ditanya tim jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Denpasar, Jumat (3/11/2023).
"Saya nggak lihat aspek hukumnya. Saya nggak lihat regulasinya," imbuh Wiagustini.
Kemudian, Wiagustini menuturkan dalam penyusunan tarif SPI, dirinya menggunakan patokan atau benchmark dari tiga universitas. Yakni, Universitas Airlangga, Universitas Andalas, dan Universitas Brawijaya.
Setelah mendapat gambaran tarif SPI dari tiga kampus tersebut, dia membuat naskah akademik terkait penyusunan tarif. Namun, Wiagustini tidak secara gamblang menyebut naskah akademiknya tersebut nantinya akan menjadi dasar penentuan nilai SPI di masing-masing fakultas.
"Kami menghasilkan tarif yang tertuang di dalam naskah tadi. Kami hanya setor SPI dalam bentuk buku (naskah akademik). Kami tidak sampai susun (menerbitkan) surat keputusan (SK)," tuturnya.
JPU Dino Kries Miardi membenarkan Universitas Brawijaya menjadi salah satu kampus yang dijadikan patokan oleh saksi dalam menyusun tarif SPI. Bedanya, Universitas Brawijaya menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dalam menyusun tarif SPI-nya.
"SPI mereka (Unud) itu menggunakan benchmarking tiga unversitas itu. Tapi dari yang kami pelajari bahwa Universitas Brawijaya dalam menentukan tarif (SPI) menggunakan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK. Nah, ini (Unud) nggak ada (dasar hukum PMK-nya)," kata Dino.
Padahal, lanjutnya, Unud sudah menentukan semua tarif layanannya ke dengan dasar hukum PMK. Namun, tidak dengan SPI.
"Sedangkan di Universitas Brawijaya, semua tarif layanan masuk ke PMK. Besarannya (SPI di Universitas Brawijaya) juga ada di PMK. Tapi, besaran (SPI di Unud) hanya termuat di SK Rektor," jelasnya.
Menurutnya, Unud sebagai lembaga negara tidak dapat serta merta menentukan tarif dan besaran, hingga memungut SPI hanya berbekal SK Rektor. Harus ada dasar hukum lain, salah satunya PMK, yang membuat pungutan SPI menjadi sah.
(hsa/dpw)