I Ketut Budiarsa, terdakwa kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) dan kendaraan khusus RSUD Badung, divonis dua tahun penjara. Budiarsa juga wajib mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 754 juta.
"Putusannya pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan. Terdakwa juga wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 754 juta subsidair penjara satu tahun," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Denpasar Gede Putra Astawa kepada detikBali, Kamis (15/6/2023).
Hakim Ketua Nyoman Wiguna yang memimpin sidang di Pengadilan Negeri Denpasar menilai Budiarsa telah terbukti secara sah memenuhi semua unsur pidana. Yakni, Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana Telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pertimbangan oleh Wiguna itu juga yang memberatkan Budiarsa dengan vonis tersebut.
"Hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada pokoknya sama dengan pertimbangan penuntut umum," terang Astawa.
Atas putusan tersebut, Wiguna memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk berkonsultasi dengan kuasa hukumnya selama tujuh hari, sebelum memutuskan untuk menempuh jalur hukum lain atau banding. Baik jaksa maupun Budiarsa menyatakan menggunakan waktu selama tujuh hari untuk mempertimbangkan vonis tersebut.
"Baik terdakwa maupun jaksa menyatakan pikir-pikir," katanya.
Sebelumnya, jaksa menuntut Budiarsa dengan hukuman penjara selama tiga tahun atau setahun lebih rendah dari vonis hakim. Jaksa menilai tindak korupsi yang dilakukan Budiarsa menyebabkan kerugian keuangan negara.
Budiarsa didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan alkes dan kendaraan khusus RSUD Badung senilai Rp 6,29 miliar. Dia tidak beraksi sendirian.
Saat itu, ada juga I Ketut Sukartayasa, I Ketut Susila, dan Muhammad Yani Khanifudin yang juga menjadi pesakitan pada berkas perkara yang terpisah.
Mereka berempat berkomplot menentukan pembelian alkes dan kendaraan khusus berdasarkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Padahal, HPS harus disusun dan diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
(nor/gsp)