"Eksekusi ini berdasarkan putusan lelang yang sifatnya sama dengan putusan pengadilan," jelas Panitera/Juru Sita PN Tabanan I Nyoman Windia, yang memimpin eksekusi tersebut.
Dalam salinan tersebut, PN Tabanan mengabulkan permohonan eksekusi yang diajukan PT BPR Pande Artha Dewata. Eksekusi ini sempat tertunda lantaran perlawanan hukum berupa gugatan perdata oleh prajuru Desa Adat Banjaranyar.
Dalam gugatannya, prajuru atau pengurus Desa Adat Banjaranyar mengklaim lahan tersebut merupakan karang ayahan desa (tanah adat). "Dalam perkara ini, permohonan pernah tertunda karena ada perlawanan hukum dari pihak desa adat," jelasnya.
Dalam upaya perlawanan hukum secara perdata tersebut, PN Tabanan memutuskan gugatan desa adat tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijke Verklaard). "Akhirnya mereka mengajukan upaya banding di Pengadilan Tinggi Denpasar. Putusannya sama, menguatkan putusan di PN Tabanan," jelas Windia.
Ia menjelaskan dari putusan PN dan PT itu, desa adat tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sehingga hak untuk mengajukan kasasi sudah habis waktunya.
"Putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Jadi eksekusi tetap dilaksanakan, karena putusan (pengadilan) tidak membatalkan putusan lelang," tukasnya.
Jalannya proses eksekusi dijaga ketat aparat kepolisian, khususnya Polres Tabanan. Meskipun dari desa adat tidak melakukan perlawanan.
Sementara itu, Bendesa Adat Banjaranyar I Made Raka yang hadir dalam proses eksekusi mengatakan warga desa adat kecewa. Namun, warga tidak akan melanjutkan ke tingkat kasasi.
"Tapi karena sudah melakukan proses melalui gugatan (perdata) sampai pengadilan tinggi, jelas warga desa adat terkejut," ujarnya.
Sebagai kilas balik, ia menyebutkan klaim atas lahan yang dieksekusi itu didasari keyakinan bahwa sebelumnya lahan itu merupakan karang ayahan desa. Dalam perjalanannya, lahan tersebut disertifikatkan dan dijadikan sebagai jaminan.
"Akhirnya yang meminjam itu meninggal. Lalu ada yang mengaku sebagai ahli waris untuk mendapatkan pinjaman. Itu bodong. Bukan orang sini. Sehingga itu juga tidak mau bayar," bebernya.
Meski demikian, I Made Raka menyebutkan desa adat akan menempuh upaya hukum pidana atas proses sertifikasi lahan yang dieksekusi tersebut. "Kok bisa karang ayahan desa disertifikatkan. Menjadi hak milik atau SHM milik pribadi hingga dijaminkan," pungkasnya.
(irb/BIR)