Demikian juga dengan terdakwa lainnya, Dewa Nyoman Wiratmaja selaku mantan staf khusus Eka Wiryastuti saat menjabat bupati pada 2017 lalu.
Putusan ini setengah dari tuntutan hukuman yang diajukan Jaksa Penuntut Umum atau JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis hakim menghukum Eka Wiryastuti selama empat tahun penjara.
"Menimbang, bahwa terhadap lamanya pemidanaan yang akan diajukan terhadap terdakwa (Eka Wiryastuti), Majelis Hakim tidak sependapat dengan penuntut umum," ujar Hakim Gde Putra Astawa selaku hakim anggota sebelum sampai pada pembacaan amar putusan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat terdakwa Eka Wiryastuti serta saksi I Dewa Nyoman Wiratmaja (terdakwa dalam berkas terpisah) mengurus DID untuk kepentingan Kabupaten Tabanan.
Meskipun pemberian uang adat istiadat tersebut bertentangan dengan hukum, terdakwa dan saksi Dewa Wiratmaja, serta aparat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan pada umumnya meyakini hanya itu yang dapat membuahkan hasil untuk menutup defisit anggaran pada saat itu.
"Artinya ada penawaran yang tidak bisa ditolak oleh terdakwa dan saksi I Dewa Nyoman Wiratmaja, karena keinginannya untuk mendapatkan DID untuk menutupi defisit anggaran di Kabupaten Tabanan," imbuhnya.
Sehingga, sambungnya, terdakwa Eka Wiryastuti mengutus saksi I Dewa Nyoman Wiratmaja berkoordinasi dengan Bahrullah Akbar (mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK).
Selain itu, majelis hakim berpendapat bahwa peran saksi Yaya Purnomo (terpidana penerima suap) juga mempengaruhi keputusan yang diambil terdakwa Eka Wiryastuti dan saksi Dewa Wiratmaja.
"Berdasarkan alasan-alasan dan keadaan-keadaan tersebut, maka Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum," sambungnya.
Majelis hakim juga menolak tuntutan pidana tambahan terhadap terdakwa Eka Wiryastuti terkait pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik.
"Tidak cukup alasan yang memberatkan untuk menjatuhkan pidana tambahan tersebut kepada terdakwa (Eka Wiryastuti)," ujar hakim.
Beberapa pertimbangan majelis hakim antara lain, secara khusus pidana tambahan ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Namun JPU sejak awal tidak memasukkan ketentuan pasal ini ke dalam surat dakwaan.
Selain itu, hakim berpendapat, pidana tambahan tersebut tidak bersifat wajib. Penerapannya jika majelis hakim berpendapat bahwa perlu dijatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa.
"Pada pokoknya, tindak pidana ini terjadi tidak terlepas adanya oknum dari Kementerian Keuangan seperti saksi Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang mempergunakan kedudukannya mempengaruhi terdakwa, sehingga mengambil tindakan pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama," jelasnya.
Pertimbangan lainnya, tujuan penggunaan DID secara khusus untuk melancarkan kinerja anggaran dalam pemerintahan yang dipimpin terdakwa Eka Wiryastuti saat itu.
"Bahwa terdakwa tidak terbukti menggunakan uang DID untuk kepentingan pribadi, melainkan diserap dalam kegiatan OPD (organisasi perangkat daerah) sesuai perencanaan," kata hakim.
Pertimbangan ini juga disampaikan majelis hakim yang sama dalam sidang dengan terdakwa Dewa Wiratmaja. Bedanya, majelis hakim berpendapat bahwa Dewa Wiratmaja dalam kapasitasnya sebagai staf khusus saat itu karena menjalankan tugas.
"Terdakwa (Dewa Wiratmaja) melakukan perbuatan tersebut karena melaksanakan tugas," pungkas Hakim Gde Putra Astawa.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menjatuhkan hukuman satu tahun dan enam bulan atau satu setengah tahun. Lebih ringan dua tahun dari tuntutan yang diajukan JPU.
Dalam surat tuntutannya, JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman selama tiga setengah tahun kepada Dewa Wiratmaja.
(nor/nor)