Ratusan pasang mata tertuju pada Nyoman Monot saat menarikan tapel atau topeng barong khas Bali di atas panggung Wacken Open Air, Jerman. Sayup-sayup instrumentalia berlaras pelog membuat suasana semakin magis. Para penggemar musik metal atau metalhead yang telah berjejal di depan panggung tampak terbius.
Sekelebat kemudian, Monot yang mengenakan pakaian hitam dan udeng atau ikat kepala tradisional Bali mulai menggebuk drum. Progresi akor gitar menyalak dan bersahutan dengan suara serak nan parau sang vokalis. Panggung festival musik metal terbesar di dunia itu bergetar. Para metalhead pun mulai jingkrak-jingkrak dan headbang di depan panggung.
Momen itu tersaji saat Monot bersama band-nya, Ludicia, mewakili Indonesia di ajang Wacken Metal Battle 2022 di Jerman. Itu adalah pengalaman pertama Monot menabuh drum di panggung internasional. Ia memasukkan unsur etnik untuk memperkenalkan budaya Bali kepada dunia melalui musik cadas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berkesenian memang passion saya sejak kecil," tutur Monot saat ditemui detikBali di kediamannya di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali, Minggu (2/6/2024).
![]() |
Monot adalah seorang metalhead yang lian. Ia tak hanya jago menggebuk drum, tetapi juga piawai menabuh gamelan Bali. Monot bahkan lebih banyak berkarya untuk pelestarian seni karawitan Bali. Ia beberapa kali dipercaya sebagai komposer gending baleganjur (salah satu jenis gamelan Bali).
Pria bernama lengkap I Komang Trisandya Saputra itu lahir dan tumbuh dari keluarga yang mencintai seni. Orang tua Monot juga mengelola sanggar seni di Jimbaran pada 1980-an. Saat belia, Monot belajar menabuh gamelan Bali dari kakeknya dan berguru kepada sejumlah tokoh seni karawitan di Bali.
Monot berkenalan dengan musik modern dan mulai bermain drum sejak menginjak remaja. Selain Ludicia, ia juga bermain untuk Kaligula - band metal lainnya yang berbasis di Bali. Meski begitu, ia tak berhenti berkesenian dengan memainkan gamelan Bali dan mengukir prestasi berkat musik tradisional itu.
"Pernah ikut Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Bandung pada 2007, waktu itu saya masih kelas 2 SMA. Itu salah satu pengalaman yang paling berkesan," kata pria kelahiran 14 Juli 1991 tersebut.
Lulus SMA, Monot melanjutkan kuliah di jurusan seni karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Selama menjadi mahasiswa, Monot kembali mendalami gamelan Bali dan mendapat asupan tentang ilmu karawitan secara akademis. Aktivitas berkeseniannya pun semakin terpacu.
Pada 2014, ia berhasil membawa Sekaa Gong Kanthi Budaya Jimbaran sebagai juara 1 Lomba Baleganjur dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) 2014. Sejak itu, Monot sering terlibat dalam festival seni terbesar di Bali itu.
Terbaru, Monot dipercaya menjadi pembina sekaligus penata tabuh baleganjur duta Kabupaten Badung dalam PKB 2024. Kali ini, baleganjur garapannya berjudul Wayah. Garapan itu menjadi pembuka dalam wimbakara (lomba) baleganjur PKB 2024 di Ardha Candra Art Center Denpasar, Jumat (21/6/2024).
"Para penabuh baleganjur Badung tahun ini berasal dari anak-anak muda di Jimbaran. Kami intens berlatih sekitar lima bulan sebelum pentas di PKB," imbuh pria yang juga komposer baleganjur bertajuk Hyang Baka Bumi itu.
Selain menggarap gending baleganjur, Monot juga membuat komposisi gamelan lainnya. Pada PKB 2022, ia menjadi penata tabuh Janger Melampahan bertajuk Siat Yeh. Karya itu diangkat dari tradisi perang air yang dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi oleh warga Jimbaran, desa kelahirannya.
Inspirasi saat menggarap karya karawitan, Monot berujar, muncul dari berbagai hal dan terkadang spontan. "Inspirasi bisa datang ketika melakukan kegiatan sehari-hari, misalnya saat sedang makan atau mandi," imbuh suami dari Kadek Ayu Era Pinatih itu.
Lestarikan Seni Karawitan Lewat Sanggar
![]() |
Selain nge-band dan menjadi komposer gamelan Bali, Monot juga melestarikan seni karawitan melalui Sanggar Seni Kalingga yang berbasis di Banjar Teba, Jimbaran. Monot menjadi pembina karawitan di sanggar seni itu.
Sanggar Seni Kalingga adalah salah satu dari ribuan sanggar seni yang ada di Pulau Dewata. Data Dinas Kebudayaan Bali menyebutkan jumlah sanggar/komunitas seni atau sekaa di Pulau Seribu Pura pada 2023 mencapai 12.386 kelompok seni.
Gianyar tercatat memiliki jumlah sanggar seni paling banyak dengan 3.617 kelompok. Adapun, Buleleng memiliki sekaa paling sedikit yakni 484 komunitas.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali kerap melibatkan sanggar-sanggar seni tersebut untuk melestarikan kesenian dari Pulau Dewata. Salah satunya melalui ajang PKB yang pertama kali dicetuskan pada 1979 oleh Gubernur Bali ke-6 Ida Bagus Mantra.
Monot menuturkan latihan megamel di sanggarnya dilaksanakan setiap Jumat dan Minggu. Saat ini, anggota aktif sanggar tersebut sekitar 45 orang yang terdiri dari anak-anak dan remaja.
"Syarat bergabung di sanggar cukup dengan mendaftarkan diri dan hadir saat latihan," kata ayah dua anak itu.
Adapun, biaya pendaftaran untuk menjadi peserta sanggar tersebut Rp 100 ribu. Biaya pendaftaran itu sudah termasuk mendapatkan kaus. Setelah itu, peserta sanggar cukup membayar biaya latihan Rp 25 ribu per bulan.
Media sosial turut menjadi media promosi sanggar yang dikelola oleh Monot tersebut. "Peserta yang baru belajar megamel biasanya akan diajarkan materi tabuh paling sederhana, yaitu Gilak," imbuh Monot yang kerap membagikan tips memainkan kendang melalui akun Instagramnya itu.
Selain mengajarkan gamelan Bali, Monot juga memperkenalkan musik modern kepada peserta sanggar. Ia kerap mengajak anak-anak sanggar untuk mencoba memainkan alat musik modern di studio musik miliknya.
"Setiap minggu atau sebulan sekali, anak-anak kami arahkan untuk ikut semacam ekstrakurikuler. Jadi mereka bisa saya ajak latihan bermain perkusi atau kadang-kadang ada event mendadak, saya libatkan mereka membuat garapan yang eksklusif," ujarnya.
Monot berharap anak-anak muda tidak melupakan kesenian tradisi di tengah era modern. Melalui Ludicia dan sanggar seninya, ia menunjukkan seni modern dan seni tradisi tetap bisa berdampingan. "Karena tanpa tradisi, tak akan ada yang namanya kreasi," pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh Desak Made Diah Aristiani, Husna Putri Maharani, dan Rio Raga Sakti, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)