Tradisi Ngrembug dan Lemahnya Posisi Perempuan di Bali

Adila Farhah Nursyifa - detikBali
Kamis, 18 Des 2025 09:46 WIB
Foto: Ilustrasi perempuan Bali. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Denpasar -

Masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, memiliki tradisi ngrembug. Ngrembug merupakan wadah musyawarah untuk pengambilan keputusan keluarga sebelum pelaksanaan upacara adat, seperti Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Rsi Yadnya.

Ngrembug dilakukan karena rangkaian upacara yang hendak digelar umummnya membutuhkan biaya besar. Walhasil, forum musyawarah menjadi ruang penting untuk menentukan strategi pendanaan, pembagian peran, serta penentuan alur penyelenggaraan.

Namun, dalam proses ini terjadi dominasi kuat oleh pihak laki-laki atau biasa disebut purusa. Bila hadir, perempuan tidak duduk dalam lingkaran, melainkan berada di luar formasi. Posisi ini mencerminkan pemisahan secara simbolik maupun struktural bahwa suara laki-laki lebih dianggap sah dalam pengambilan keputusan.

Perempuan Hindu Bali umumnya memiliki batasan pada proses pengambilan keputusan, terutama dalam konteks adat yang dianggap sebagai ranah laki-laki. Menariknya, kondisi subordinatif ini tidak hanya dipertahankan oleh laki-laki sebagai pemegang otoritas adat, tetapi juga dilegitimasi oleh perempuan sendiri.

Perempuan terbiasa menerima bahwa posisinya adalah pelengkap, penyedia pangan dalam upacara, dan pelaksana ritual, tanpa menjadi subjek dalam penentuan keputusan. Fenomena ini memperlihatkan internalisasi nilai patriarki secara turun-temurun.



Simak Video "Video: Mengapa Islandia Jadi Negara Kesetaraan Gender Terbaik di Dunia?"


(hsa/hsa)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork