Masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, memiliki tradisi ngrembug. Ngrembug merupakan wadah musyawarah untuk pengambilan keputusan keluarga sebelum pelaksanaan upacara adat, seperti Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Rsi Yadnya.
Ngrembug dilakukan karena rangkaian upacara yang hendak digelar umummnya membutuhkan biaya besar. Walhasil, forum musyawarah menjadi ruang penting untuk menentukan strategi pendanaan, pembagian peran, serta penentuan alur penyelenggaraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, dalam proses ini terjadi dominasi kuat oleh pihak laki-laki atau biasa disebut purusa. Bila hadir, perempuan tidak duduk dalam lingkaran, melainkan berada di luar formasi. Posisi ini mencerminkan pemisahan secara simbolik maupun struktural bahwa suara laki-laki lebih dianggap sah dalam pengambilan keputusan.
Perempuan Hindu Bali umumnya memiliki batasan pada proses pengambilan keputusan, terutama dalam konteks adat yang dianggap sebagai ranah laki-laki. Menariknya, kondisi subordinatif ini tidak hanya dipertahankan oleh laki-laki sebagai pemegang otoritas adat, tetapi juga dilegitimasi oleh perempuan sendiri.
Perempuan terbiasa menerima bahwa posisinya adalah pelengkap, penyedia pangan dalam upacara, dan pelaksana ritual, tanpa menjadi subjek dalam penentuan keputusan. Fenomena ini memperlihatkan internalisasi nilai patriarki secara turun-temurun.
Kesinambungan Patriarki di Bali
Budaya patriarki telah lama membentuk cara pandang masyarakat dunia mengenai hakikat manusia serta relasi laki-laki dan perempuan. Sistem ini bekerja melalui doktrin yang dianggap sebagai kebenaran universal sehingga tampak seolah-olah merupakan hukum alam.
Ketika nilai-nilai tersebut kemudian dipertegas oleh ajaran-ajaran agama, posisi laki-laki menjadi makin dilegitimasi sebagai pihak yang dominan. Kondisi ini menyebabkan kehidupan sosial masyarakat, termasuk masyarakat awam, terus mereproduksi cara pandang yang memusatkan kekuasaan pada laki-laki dibanding perempuan.
Jika manusia diyakini hidup dalam ajaran Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Adil, seharusnya tidak ada pembatasan ataupun hierarki nilai yang menjadikan perempuan berada di posisi yang lebih rendah. Padahal, keduanya, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan ciptaan Tuhan yang setara.
Sebagaimana hegemoni patriarki yang memengaruhi berbagai budaya lain, konstruksi tersebut juga mengakar dalam sistem adat Bali. Holleman dan Koentjaraningrat dalam Sudarta (2006) menyebut kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilineal. Melalui sistem ini, garis keturunan, kepemilikan tanah, dan tanggung jawab adat diwariskan melalui laki-laki. Posisi laki-laki menjadi representasi keluarga, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai pelengkap sistem sosial.
Kondisi ini menghadirkan ironi ketika dikaitkan dengan ajaran Hindu, agama yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Hindu menempatkan perempuan dalam posisi yang dimuliakan, bahkan dianggap memiliki unsur "Sakti" energi spiritual perempuan yang menjadi sumber kekuatan laki-laki. Namun, interpretasi filosofis tersebut tidak terwujud dalam struktur praksis adat. Perempuan tetap berada dalam posisi subordinatif, bukan sebagai subjek penentu keputusan, melainkan sebagai pelaksana ritual dan pengemban peran domestik.
Surpha (2006) menyebutkan masyarakat Bali membangun pola hidupnya berdasarkan nilaiβnilai budaya Bali dan ajaran Agama Hindu. Nilai tersebut pada dasarnya bertujuan menciptakan kehidupan ideal yang harmonis, seimbang, dan berpijak pada tata moral keagamaan. Namun, dalam implementasi sosial, terutama melalui sistem hukum adat, muncul realitas yang bertolak belakang dengan ideal kesetaraan tersebut.
Hukum adat Bali memiliki struktur patriarkal yang kuat sehingga menempatkan lakiβlaki sebagai pusat pewarisan, penerus garis keluarga, serta pemegang otoritas dalam keluarga. Perempuan cenderung ditempatkan pada posisi subordinat karena nilai budaya mengonstruksi lakiβlaki sebagai figur utama dalam struktur rumah tangga dan adat.
Lemahnya Posisi Perempuan Bali
Salah satu bentuk paling kuat dari pemikiran patriarkal tampak pada konsep purusa-pradana dalam adat perkawinan. Purusa yang dilekatkan pada laki-laki dipahami sebagai jiwa atau prinsip rohani yang bersifat abadi. Sementara perempuan ditempatkan sebagai pradana, yaitu unsur material, bersifat sementara dan dapat berubah. Dalam perspektif filsafat Hindu klasik (SΔαΉ khya), purusa dan prakerti adalah dua prinsip metafisik pembentuk alam semesta dan keduanya melekat pada setiap manusia tanpa memandang jenis kelamin. Namun, kesalahan interpretasi konsepsi metafisik tersebut kemudian direduksi menjadi penanda jenis kelamin.
Kesalahan interpretasi inilah yang memunculkan ketimpangan sosial. Perempuan diposisikan sebagai entitas yang dapat "berpindah kepemilikan" ketika menikah sehingga tidak dianggap lagi sebagai bagian dari keluarga asalnya. Kondisi ini melahirkan stigma yang populer disebut "pewaris tanpa warisan", yaitu perempuan dapat menjadi penerus garis biologis, tetapi hak warisnya secara adat dianggap gugur sejak ia masuk ke keluarga laki-laki melalui perkawinan.
Dalam praktik sosial, perempuan Bali sejak kecil secara simbolik disiapkan untuk menjadi milik keluarga lain. Statusnya sebagai anak berubah total ketika menikah, baik identitas sosial, peran domestik hingga hak ekonominya. Pembagian warisan biasanya meniadakan hak perempuan yang menikah karena secara adat ia dianggap telah menjadi bagian keluarga pihak suami. Warisan yang dimiliki pihak laki-laki pun sesungguhnya bukan hak perempuan, tetapi tetap melekat pada suami dan kembali diwariskan kepada anak laki-laki berikutnya.
Ketimpangan ini juga tecermin secara linguistik. Dalam tradisi pinangan dikenal istilah ngayahin yang berarti "melayani," menggambarkan perempuan datang untuk mengabdi pada suami dan keluarga suaminya. Penggunaan istilah tersebut memperkuat simbolisasi hierarki gender.
Simak Video "Video: Mengapa Islandia Jadi Negara Kesetaraan Gender Terbaik di Dunia?"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/hsa)











































