Hukum waris merupakan hukum yang mengatur perpindahan harta kekayaan (hak) dari pewaris kepada ahli waris. Masyarakat Bali juga mengenal sistem hukum waris adat Bali yang menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mewariskan harta kepada ahli waris.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam, dan sistem hukum waris menurut Undang-Undang Hukum Perdata. Sistem waris adat Bali merupakan salah satu contoh sistem hukum waris adat yang berlaku bagi masyarakat adat Bali.
Hukum adat waris berisi peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud (immateriele goederen) dari suatu generasi manusia kepada keturunannya. Selain itu, dapat diartikan juga sebagai norma hukum yang menerapkan harta kekayaan, baik yang materiil dan immateriil yang manakan dari seseorang bisa diserahkan kepada keturunannya serta mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, dalam artikel ini kita akan mengetahui lebih dalam tentang sistem hukum waris adat Bali. Bagi kamu yang ingin tahu informasi selengkapnya mengenai sistem waris adat Bali, mari simak pembahasan di bawah ini sampai selesai!
Hak Waris Perempuan Menurut Adat Bali
Dilansir dari modul berjudul Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali oleh Wayan Windia, pewarisan menurut hukum adat Bali berbeda dengan menurut hukum perdata (hukum barat). Perbedaannya terletak pada unsur, azas, serta substansinya.
Terdapat 4 unsur yang terlibat dalam sistem hukum waris adat Bali, yaitu:
- Pewaris: Orang yang meninggalkan warisan.
- Waris: Keturunan.
- Ahli waris: Keturunan yang memiliki hak atas warisan yang ditinggalkan.
- Warisan: Swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.
Dilansir dari skripsi berjudul Implementasi Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Nomor: 01/KEP/PSM-3/MDP BALI/x/2010 Terhadap Pewarisan Wanita Hindu Bali (Studi Kasus Desa Adat Jinengdalem oleh Gede Wahyu Aldi Putra, dalam hukum adat Bali, sistem pewarisan yang berlaku adalah sistem hukum waris adat dengan pembagian warisan ditentukan oleh sistem kekerabatan.
Terdapat tiga penggolongan dalam sistem kekerabatan, yaitu patrilineal (menarik garis keturunan dari bapak), matrilineal (menarik garis keturunan dari ibu), dan kekerabatan parental (menarik garis keturunan bapak dan ibu).
Masyarakat adat Bali menganut sistem purusa, yaitu kekerabatan yang didasarkan pada garis keturunan dan laki-laki. Dengan kata lain, hanya anak laki-laku yang memiliki kekuasaan mutlak dalam sebuah keluarga.
Sementara anak perempuan, akibat perkawinan yang mengharuskan mereka untuk mengikuti suaminya sehingga anak perempuan keluar dari keluarga asalnya. Atas dasar itulah, perempuan dalam hukum waris adat Bali tidak diperhitungkan sebagai ahli waris, kecuali perempuan yang memiliki kedudukan sebagai purusa.
Hak Waris Perempuan Menurut Adat Bali
Dikutip dari jurnal berjudul Sistem Kewarisan: Hak Wanita dalam Hukum Adat Bali oleh Made Erna Wintari dan Gede Bagus Suparta, sistem adat Bali menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal. Dengan begitu, anak laki-laki akan melanjutkan keluarga, sedangkan anak perempuan akan meninggalkan keluarga karena ikut dengan suaminya.
Berdasarkan hal tersebut, hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Anak perempuan tidak mungkin dapat meneruskan tanggung jawab sehingga disamakan dengan seseorang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga, maka perempuan dianggap bukan pewaris keluarga.
Anak perempuan saya berhak untuk menikmati harta kekayaan orang tuanya selama anak perempuan itu belum menikah sehingga masih dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Jika sudah kawin, hak menikmati akan menjadi gugur dan dia akan menjadi tanggung jawab dari suami yang menikahinya.
Bagi masyarakat Bali yang mempercayai hukum waris adat, mereka akan menuruti ketentuan tersebut. Seorang pewaris akan menjadikan keturunan laki-lakinya untuk menjadi ahli waris dan melanjutkan keluarga tersebut.
Apakah Anak Angkat Mendapat Waris dalam Hukum Adat Bali?
Dilansir dari tesis terbitan Universitas Diponegoro berjudul Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Bali oleh Mery Wanyi Rihi, seorang anak angkat memiliki kedudukan tertentu dalam peraturan adat Bali.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua angkatnya adalah sebagai anak kandung sehingga berfungsi sebagai pelanjut keturunan dan berkedudukan sebagai ahli waris. Dengan ketentuan anak angkat dari clan sendiri mewarisi semua harta warisan orang tua angkatnya, termasuk harta pusaka.
Sebaliknya anak angkat bukan dari clan sendiri hanya mewarisi harta guna kaya (harta pencaharian) orang tua angkatnya, harta pusaka kembali kepada asalnya. Anak angkat tersebut tidak berhak mewaris terhadap harta peninggalan dari orang tua kandungnya oleh karena hubungan kekeluargaannya telah terputus.
Nah, itulah dia pembahasan mengenai sistem hukum waris adat Bali. Dapat disimpulkan bahwa adat Bali menerapkan sistem patrilineal yang menarik keturunan dari pihak laki-laki sehingga anak laki-laki yang berhak untuk melanjutkan keluarga dan menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya.
(khq/fds)