Sebelum dikenal luas seperti sekarang dengan nama Bali, Pulau Dewata sempat tercatat dalam sejarah dengan nama yang berbeda, yaitu Provinsi Sunda Kecil. Mengapa demikian? Yuk simak penjelasannya.
Sejarah
Istilah Sunda Kecil muncul pertama kali dari peta-peta geografi Eropa semenjak abad ke-16. Saat itu para pelaut Portugis dan Belanda berusaha menamai gugusan pulau di timur Jawa. Mereka menyebut pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan sebagai Greater Sunda Islands (Sunda Besar), sedangkan gugusan pulau lebih kecil di timur, termasuk Bali, Lombok, Sumbawa, Flores hingga Timor disebut Lesser Sunda Islands atau Sunda Kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pelaut melihat pulau-pulau tersebut sebagai perpanjangan daratan dari wilayah Sunda di bagian barat Nusantara, meski secara budaya dan bahasa, masyarakatnya berbeda. Ketika masa kolonial Belanda berlangsung, istilah Sunda Kecil mulai digunakan secara administratif untuk mengelompokkan pulau-pulau di bawah satu pemerintahan karesidenan di Hindia Belanda.
Perubahan Nama Sunda Kecil ke Bali
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, istilah ini diadopsi secara resmi sebagai nama provinsi, dengan sebutan Provinsi Sunda Kecil yang mencakup seluruh kepulauan di kawasan tersebut. I Gusti Ketut Pudja diangkat sebagai gubernur pertamanya dan Singaraja ditetapkan sebagai ibu kota provinsi.
Namun seiring waktu, nama Sunda Kecil dinilai kurang mencerminkan identitas budaya daerah dan terasa seperti warisan kolonial. Pemerintah kemudian mengganti istilah itu menjadi Nusa Tenggara melalui Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1954, agar lebih sesuai dengan karakter geografis dan semangat kebangsaan Indonesia yang baru tumbuh.
Selanjutnya, pada 14 Agustus 1958, wilayah bekas Sunda Kecil resmi dimekarkan menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak saat itu, Bali berdiri sebagai provinsi sendiri, bukan lagi bagian dari Sunda Kecil.
(nor/nor)











































