Sekaa Teruna (ST) Tunas Muda dari Banjar Dukuh Mertajati, Desa Adat Sidakarya, Denpasar, kembali mencuri perhatian akan kreativitasnya dalam membuat karya seni ogoh-ogoh. Mereka kini menghadirkan karya ogoh-ogoh yang disebut 'Angkara'.
'Angkara' adalah sebuah ogoh-ogoh unik yang dibuat dari limbah kaca, kaleng, akar bangsing, kayu lapuk, serat tapis kelapa hingga batu apung. Material yang tak biasa ini bukan sekadar estetika, tetapi juga menjadi simbol refleksi diri.
"Kami ingin tampil berbeda. Kalau tahun-tahun sebelumnya kami banyak memakai limbah dapur, tahun ini kami eksplorasi ke bahan limbah kaca," ungkap Ketua ST Tunas Muda, I Wayan Pagah Wedhanta, kepada detikBali, saat ditemui di Banjar Dukuh Mertajati, Jumat (14/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa material dikumpulkan dari berbagai tempat. Limbah kayu didapatkan dari pantai, akar dari hutan di Klungkung, dan limbah kaca dari botol-botol bekas di warung sekitar.
Namun, penggunaan limbah kaca bukan tanpa tantangan. "Media ini cukup berat sehingga perlu disesuaikan dengan bahan lain agar tetap sinkron. Kami juga harus melakukan riset, apakah cocok atau tidak ketika diaplikasikan ke ogoh-ogoh," jelas Pagah.
ST Tunas Muda juga tidak ketinggalan dalam memanfaatkan teknologi. Tahun ini, mereka menggunakan dinamo, gear, pompa, dan pencahayaan. Namun, karena material ogoh-ogoh tahun ini cukup berat, penggunaan teknologi lebih dibatasi.
"Kami tetap pakai lampu, tetapi dikemas agar tidak terlihat biasa. Lampu-lampu ini ditanam di setiap bagian ogoh-ogoh sehingga memberikan efek pencahayaan yang lebih bagus," ujar Pagah.
![]() |
Ogoh-ogoh 'Angkara' dikerjakan oleh lebih dari 50 orang selama sekitar empat bulan. Pembuatan ogoh-ogoh ini menelan biaya sekitar Rp 30-35 juta. Dana tersebut diperoleh dari berbagai sumber, termasuk sponsor, dukungan warga, serta bantuan pemerintah. Selain itu, mereka juga rutin mengadakan penggalangan dana mandiri, seperti menjual kaus.
ST Tunas muda beberapa kali meraih juara di tingkat kecamatan dan kota. Menurut Pagah, ada beberapa aspek utama yang membuat mereka terus mendapat apresiasi.
"Menurut saya, juri menilai dari kreativitas, pertunjukan, dan konsep cerita yang kuat. Kami selalu mencoba menggunakan bahan-bahan yang tidak lazim dan menggarap detail dengan tekun," ungkap pria berusia 25 tahun itu.
Konsep dan Makna Ogoh-ogoh Angkara
Ogoh-ogoh yang sudah dipersiapkan sejak November ini tersaji dalam bentuk raksasa berkepala tiga. Masing-masing melambangkan indra utama manusia, yakni mata, hati, dan telinga. "Di zaman sekarang, manusia sering salah menggunakan ketiga indra itu. Padahal, seharusnya mata, hati, dan telinga menjadi filter dalam mengambil sikap," ujar Pagah.
Inspirasi utama ogoh-ogoh ini berasal dari kutipan kitab purana Srimad Bhagavatam 1.1.10 yang menggambarkan manusia di zaman kali yuga sebagai makhluk yang sering bertengkar, mudah marah, gelisah, dan munafik. "Dari situlah kami ingin menggambarkan bagaimana keangkaraan terus berlanjut dan manusia yang melanggengkan zaman yang penuh kegelapan ini," jelas Pagah
Ogoh-ogoh 'Angkara' menampilkan tiga kepala dengan mahkota simbolik yang mencerminkan sisi gelap manusia. Mata (bermahkota laba-laba) melambangkan penglihatan yang disesatkan oleh nasib buruk, hati (bermahkota burung nasar) sebagai simbol pengaruh negatif yang merusak moralitas, dan telinga (bermahkotakan kalajengking) menggambarkan pengkhianatan dan tipu daya.
Tubuh raksasa ini dilapisi limbah kaca, merepresentasikan refleksi buruk yang seharusnya tidak ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung konsep alam, di bagian bawah dan belakang ogoh-ogoh terdapat Boma dan Aviary (kandang burung) sebagai simbol lingkungan tempat manusia hidup.
Kemudian, pada bagian depan, Singa Gedarba hadir sebagai simbol kebijaksanaan. Sementara tangga yang menyatu dengan struktur ogoh-ogoh menjadi penghubung antara keseluruhan konsep.
(hsa/nor)