Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan tradisi unik dan menarik. Aspek tradisi dalam budaya Bali sering kali terkait dengan aspek religius, di mana banyak tradisi dilaksanakan dalam kegiatan keagamaan masyarakat Hindu.
Salah satu tradisi unik yang masih terjaga hingga kini adalah tradisi mapeed. Biasanya, tradisi ini dilakukan ketika ada upacara agama besar. Tradisi mapeed berlangsung meriah, diikuti oleh ibu-ibu rumah tangga dengan ketentuan sarana dan pakaian tertentu.
Berikut ini penjelasan mengenai sejarah, keunikan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mapeed.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Tradisi Mapeed
Keberadaan tradisi mapeed di Desa Sukawati bermula dari pelaksanaan karya ngenteg linggih pada masa pemerintahan Dewa Agung Anom di Pura Penataran Agung Sukawati. Pada saat itu, Dewa Agung Anom mendapat pawisik dari Raja Anglurah Agung, Raja Mengwi, untuk melakukan prosesi mendak tirtha di sungai Cengcengan yang dikeramatkan di Sukawati.
Setelah menerima pawisik dari Raja Mengwi, Dewa Agung Anom memerintahkan rakyatnya untuk membawa sangku, yaitu tempat air yang nantinya akan digunakan dalam prosesi mendak tirtha. Masyarakat kemudian berjalan beriringan menuju Pura Taman Beji (Cengcengan). Kegiatan beriringan ini menjadi cikal bakal tradisi mapeed di Desa Sukawati.
Keunikan Tradisi Mapeed
Tradisi mapeed merupakan salah satu tradisi unik di Bali. Dilaksanakan dengan cara berjalan beriringan dalam satu garis lurus menuju suatu tempat dengan ketentuan tertentu, masyarakat Desa Pakraman Ketewel melaksanakannya seperti parade. Peserta mapeed terdiri dari perempuan Bali yang berjalan beriringan sembari menjunjung gebogan, yaitu rangkaian buah dan aneka jajan tradisional Bali yang dihiasi janur di atas dulang setinggi sekitar 50 cm di atas kepala mereka. Mereka berjalan kaki menuju pura.
Para perempuan ini mengenakan kebaya khas Bali dengan warna senada dan tata rias yang seragam. Tradisi mapeed menjadi bagian dari rangkaian upacara di pura dan memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur umat Hindu Bali kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Nilai-Nilai dalam Tradisi Mapeed
Tradisi mapeed bukan sekadar tradisi yang dilestarikan secara turun-temurun. Di baliknya, terkandung berbagai nilai pendidikan yang mencakup berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
1. Nilai Sradha dan Bhakti
Dalam ajaran agama Hindu, sradha berarti keyakinan, sedangkan bhakti berarti pengabdian. Tradisi mapeed mengandung nilai keyakinan dan pengabdian umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
2. Nilai Yadnya
Tradisi mapeed merupakan bagian dari pelaksanaan yadnya. Yadnya ini dilakukan dengan tulus, mulai dari proses pembuatan banten hingga seluruh rangkaian upacara selesai.
3. Nilai Etika
Tradisi mapeed mengajarkan etika yang berlandaskan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga perbuatan yang disucikan. Tradisi ini menekankan pentingnya berpikir, berkata, dan berbuat baik.
4. Nilai Estetika
Nilai estetika dalam tradisi mapeed terlihat dari gebogan berwarna-warni yang ditata dengan rapi dan serempak ketika dibawa beriringan.
5. Nilai Kebersamaan
Aspek kebersamaan tampak dalam setiap tahapan pelaksanaan tradisi ini, mulai dari pembuatan banten hingga selesai pelaksanaan upacara. Melalui tradisi ini, umat Hindu memupuk rasa persaudaraan dan kebersamaan.
6. Nilai Admanastuti
Nilai admanastuti tercermin dari kesulitan dalam pembuatan banten gebogan, yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi agar hasilnya indah dilihat.
Demikian informasi mengenai sejarah, keunikan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mapeed. Semoga bermanfaat.
(hsa/hsa)