Etu atau tinju adat adalah salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tradisi ini menggabungkan unsur tinju, tarian, dan nyanyian yang mengekspresikan rasa syukur sekaligus membuktikan kewibawaan dan harga diri laki-laki dalam masyarakat. Meskipun berbeda dari tinju modern, Etu memiliki kesamaan dalam hal kekuatan fisik dan strategi pertarungan.
Makna Etu dalam Masyarakat Nagekeo
![]() |
Etu berasal dari bahasa Keo yang berarti tinju adat. Tradisi ini bukan sekadar ajang adu kekuatan, melainkan sebuah simbol kehormatan, harga diri, dan kebersamaan antar individu dalam masyarakat.
Etu juga berkaitan erat dengan kehidupan agraris masyarakat Nagekeo, sebagai bentuk syukuran atas hasil panen. Dalam budaya masyarakat setempat, darah yang tercurah saat pertarungan diyakini dapat menyuburkan tanah dan memberikan berkah pada musim panen berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
![]() |
Pusat pelaksanaan Etu berada di Kampung Lembah Wulu, Desa Wuliwalo, Kecamatan Mauponggo, di bawah kaki Bukit Kelinata. Tradisi ini biasanya dimulai pada Februari, dengan penentuan tanggal yang ditetapkan melalui perhitungan masyarakat adat setempat.
Acara Etu juga berlangsung berurutan di berbagai daerah, dimulai dari bagian selatan Nagekeo dan berakhir di bagian utara Nagekeo. Berikut adalah waktu pelaksanaan Etu di beberapa lokasi:
β’ Maret: Solo (Kecamatan Boawae), Mengeruda (Kecamatan Soa)
β’ April: Piga (Kecamatan Soa)
β’ Mei: Lade, Tarawaja, Nio, Masemeli (Kecamatan Soa)
β’ Juni: Natanage, Natalea, Takatunga, Sarasedu (Kecamatan Boawae)
β’ Juli: Wulu (Kecamatan Mauponggo), Gero, Dheresia, Nunukae (Kecamatan Boawae), Tadho (Kecamatan Riung)
Persiapan dan Tahapan Upacara
![]() |
Sebelum pelaksanaan Etu, terdapat dua jenis persiapan yang harus dilakukan: persiapan fisik dan persiapan mental. Penyelenggara adat akan terlebih dahulu menetapkan tanggal upacara melalui perhitungan tradisional.
Berikut adalah tahapan penting dalam persiapan upacara:
1. Hedha Wewa
Tahapan pertama ini merupakan simbolisasi pembukaan arena pertarungan. Penetapan halaman tempat dilangsungkannya tinju adat dilakukan dengan upacara adat yang disaksikan oleh masyarakat.
2. Malam Dero
Malam Dero diadakan saat bulan purnama muncul di ufuk timur. Pada malam ini, masyarakat berkumpul di tempat acara dan menyalakan api unggun, kemudian bergandengan tangan sambil menyanyikan lagu-lagu adat. Pemangku adat atau 'moi bo'a' bertugas mengundang tamu untuk makan dalam acara khusus yang disebut "enga nalo."
Arena dan Perlengkapan Etu
Etu diadakan di halaman kampung yang dilengkapi dengan tiang "PEO," simbol persatuan dan kesatuan masyarakat Nagekeo. PEO ini berdiri kokoh di atas susunan batu. Arena pertarungan, yang disebut Loka Melo, dipagari keliling dengan bambu dimana terdapat alat musik tradisional. Tinju adat ini menggunakan Kepo, dimana dibaluti dengan ijuk yang dipintal dan diikat dengan kencang pada tangan petarung.
Baca juga: 3 Kuliner Khas Sabu Raijua yang Wajib Dicoba |
Pemimpin dan Pengendali Pertarungan
Pertarungan Etu dipimpin oleh seorang wasit yang disebut Seka, yang bertugas memastikan aturan tradisi diikuti dengan baik. Ada juga Sike, memegang ujung sarung petarung, yang bertugas memastikan para petarung tidak melampaui batas dalam pertarungan. Sementara itu, Pai Etu bertugas mencari peserta baru untuk bertarung atau menantang siapa saja yang ingin ikut serta dalam pertarungan.
Etu bukan hanya sekadar ajang pertarungan, melainkan sebuah ritual penting yang menghubungkan manusia, alam, dan kepercayaan masyarakat agraris. Tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Nagekeo, sekaligus menegaskan nilai-nilai kebersamaan, keberanian, dan penghargaan terhadap alam. Sebagai warisan leluhur, Etu terus dipelihara dan dilestarikan, menjadi kebanggaan sekaligus bukti kekayaan budaya lokal yang masih hidup hingga saat ini.
Artikel ini ditulis oleh Vincencia Januaria Molo peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/nor)