Menilik Sejarah Agama Hindu di Bali, Dibawa Para Penakluk dari Majapahit

Menilik Sejarah Agama Hindu di Bali, Dibawa Para Penakluk dari Majapahit

Zheerlin Larantika Djati Kusuma - detikBali
Kamis, 16 Mei 2024 13:18 WIB
Pemuka agama Hindu memercikkan air suci saat persembahyangan bersama di Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap, Denpasar, Bali, Jumat (31/1/2020). Persembahyangan yang dilakukan Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan diikuti sejumlah pelaku industri pariwisata tersebut diselenggarakan untuk mendoakan keselamatan dunia dan memohon agar Bali dijauhkan dari penyebaran virus Corona. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz
Ilustrasi Hindu. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Denpasar -

Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Namun, perjalanan agama Hindu di Bali tidak terjadi hanya dalam semalam. Terbentuknya agama Hindu di Bali memerlukan waktu yang sangat panjang, bahkan hingga berabad-abad.

Lantas bagaimana awal mula datangnya agama Hindu di Bali? Simak penjelasan berikut ini yang dirangkum dari berbagai sumber.

Awal Mula Masuknya Hindu ke Bali

Sehari sebelum Hari Raya Nyepi Tahun Caka 1937, Pura Adhitya Jaya di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (20/03/2015), disesaki umat Hindu yang khidmat melaksanakan prosesi Tawur Agung. Ritual Tawur Agung dipercaya sebagai ritual menolak bala.Ini merupakan bagian dari upacara Buta Yadnya.Ilustrasi Hindu. Foto: Rengga Sancaya

Merujuk dari laman resmi ugm.ac.id, mulanya agama Hindu pertama kali dibawa masuk ke Bali oleh para penakluk Jawa dari Majapahit pada abad ke-14. Pada saat itu, Majapahit jatuh ke tangan Islam pada awal abad ke-16.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para bangsawan Jawa yang menolak untuk memeluk agama Islam sebagai agama baru, kemudian melarikan diri ke Bali. Mereka melarikan diri ke tempat keluarganya di Bali dan melestarikan peradaban Hindu-Jawa di sana.

Untuk memfasilitasi komunikasi antara penduduk lokal dan penguasa Eropa, sejumlah intelektual pribumi pun muncul. Pada 1917, seorang cendekiawan terpelajar mendirikan organisasi modern pertama di Bali sebagai tanggapan terhadap kehadiran Sarekat Islam di Bali saat itu.

ADVERTISEMENT

Selama dekade 1920-an, beberapa organisasi dibentuk dan menerbitkan majalah dalam bahasa Melayu yang membahas agama dan struktur sosial. Penggunaan bahasa Melayu ini, bukan bahasa Bali. Situasi ini membuat masyarakat Bali mempertanyakan identitas mereka.

Ketegangan antara kaum bangsawan konservatif (triwangsa) dengan kaum masyarakat progresif (jaba) pun berlanjut melalui publikasi-publikasi mereka. Pertentangan ini tidak hanya masalah kasta, melainkan kedua kelompok ini memiliki kekhawatiran yang sama, yakni tentang identitas mereka dan pelestarian tradisinya.

Melalui publikasi-publikasi tersebut, orang Bali mulai menegaskan identitas mereka sebagai entitas yang unik, yaitu sebagai agama minoritas yang terancam oleh ekspansi Islam dan Kristen, serta sebagai kelompok etnik yang memiliki karakteristik khasnya sendiri. Dengan kata lain, mereka memahami identitas Kebalian (Balineseness) sebagai sesuatu yang berasal dari agama dan tradisi secara bersamaan.

Perubahan konseptual muncul di Bali pada era kolonial, dengan istilah "adat" yang sebelumnya berkonotasi administratif, kini diartikan oleh pemerintah kolonial sebagai kontras dari agama. Hal ini mengakibatkan transformasi kategori konseptual baru terhadap tradisi, mempengaruhi identitas etnis Bali.

Sebagai upaya orang Bali untuk menyetarakan agama mereka dengan Islam dan Kristen, mereka terlibat dalam diskusi internal tentang peran agama dan adat. Triwangsa hendak mempertahankan nama agama Hindu Bali untuk melestarikan tatanan tradisi dan agama. Akan tetapi, Jaba mengusulkan nama agama Bali Hindu karena ia merasa masyarakat Bali adalah pengikut sejati Hinduisme.

Kemudian, perseteruan terjadi antara Triwangsa yang ingin mempertahankan Agama Hindu Bali dan Jaba yang mengusulkan agama Bali Hindu. Meskipun reda pada akhir 1920-an, polemik tetap berlanjut hingga kedatangan Jepang pada 1942, karena tuduhan paganisme kepada orang Bali.

Hindu Bali Pasca Kemerdekaan

Melasti saat upacara Melasti di Pantai Petitenget, Badung, Bali, Jumat (8/3/2024). Seluruh umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti yang merupakan ritual penyucian diri dan alam untuk menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946.Melasti saat upacara Melasti di Pantai Petitenget, Badung, Bali, Jumat (8/3/2024). Seluruh umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti yang merupakan ritual penyucian diri dan alam untuk menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946. Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Pada era ini, Belanda berhasil memisahkan kekuasaan politik dari otoritas adat, tetapi agama dan adat tetap menyatu. Saat itu, Kementerian Agama menetapkan beberapa ketentuan untuk pengakuan sebuah agama, yakni bersifat monoteistik, mempunyai sistem hukum yang terkodifikasi bagi pengikutnya, mempunyai kitab suci dan nabi, mendapatkan pengakuan internasional, dan kongregasinya tidak boleh terbatas pada satu kelompok etnis tertentu.

Akan tetapi, kriteria tersebut sulit untuk dipenuhi, sehingga kepercayaan mereka saat itu tidak dianggap sebagai agama, melainkan hanya sebagai kepercayaan. Meski begitu, masyarakat Bali tak tinggal diam. Untuk itu, orang Bali memerlukan reformasi agar tidak menjadi sasaran dakwah Islam atau misi Kristen.

Pada tahun 1950, seorang Menteri Agama melakukan kunjungan ke Bali untuk mengatasi masalah ini. Namun, warga Bali tidak berhasil membujuk Menteri Agama ketika dimintai penjelasan tentang keyakinan mereka.
Dua tahun kemudian, mereka setuju untuk menetapkan nama agama Hindu Bali, usulan yang sebelumnya diajukan oleh Triwangsa pada 1920-an.

Mengenai kitab suci, mereka memilih nama Sang Hyang Widhi sebagai konsep dewa tertinggi. Selain itu, mereka juga menunjuk Mahabharata dan Veda sebagai kitab suci.

Meskipun begitu, tidak serta-merta membuat agama mereka langsung diakui. Barulah pada 1958, dengan mobilisasi seluruh organisasi keagamaan setempat, serta dukungan Presiden Soekarno, sebuah divisi Hindu Bali akhirnya dibentuk di Kementerian Agama. Pada tahun 1963, divisi tersebut diubah menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali, yang dengan demikian legitimasi mereka sebagai sebuah agama secara resmi diakui.

Pada awal 1960-an memang banyak komunitas Bali yang mulai hadir di luar Bali. Mempertimbangkan hal ini, pada sebuah kongres tahun 1964, Parisada Dharma Hindu Bali mengubah namanya menjadi Parisada Hindu Dharma.

Pada tahun berikutnya, Presiden Soekarno mengeluarkan surat PNPS No. 1 Tahun 1965. Pada surat tersebut ia menyebutkan agama-agama yang diakui secara resmi, salah satunya adalah agama Hindu.

Dalam periode 1966-1980, banyak penduduk Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur; masyarakat Bugis To Wani To Lotang, Toraja-Mamasa, dan Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan; sebagian penduduk Karo di Sumatera Utara; serta masyarakat Ngaju dan Luangan di Kalimantan Selatan, mengaku sebagai penganut agama Hindu.

Pada tahun 1986, Parisada Hindu Dharma mengubah namanya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, dengan tujuan merangkul seluruh komunitas Hindu di Indonesia. Pembentukan organisasi ini merupakan bagian dari perjuangan umat Hindu Bali untuk mengakui Hindu sebagai agama, bukan sekadar aliran kepercayaan.

Artikel ini ditulis oleh Zheerlin Larantika Djati Kusuma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads