- 3 Macam Baju Adat Bali dan Fungsinya 1. Payas Agung 2. Payas Madya 3. Payas Alit/Payas Nista
- Unsur dan Filosofi Baju Adat Bali Baju Adat untuk Putra 1. Kamen/Kain 2. Kancut/Lelancingan 3. Kampuh 4. Umpal 5. Baju/Kwaca 6. Udeng/Destar Busana Adat untuk Putri 1. Kamen 2. Bulang 3. Selendang/Senteng 4. Kebaya
Baju adat Bali pada umumnya ada tiga macam, yaitu Payas Agung, Payas Madya, dan Payas alit. Masing-masing memiliki fungsi berbeda dalam upacara adat. Setiap daerah di Bali memiliki kekhasan dalam menggunakan pakaian adat ini, namun masih tetap sesuai pakem.
Simak artikel ini untuk mengetahui penjelasan dari tiga macam baju adat Bali tersebut beserta fungsinya. Ketahui juga unsur-unsur pakaian yang dikenakan lengkap dengan filosofinya.
3 Macam Baju Adat Bali dan Fungsinya
Berikut ini 3 macam baju adat Bali beserta fungsinya yang dilansir dari situs Kemdikbud dan buku Ensiklopedi Pakaian Nusantara: Aceh hingga D. I. Yogyakarta (2021) oleh R. Toto Sugiarto dkk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Payas Agung
Baju adat Bali yang lengkap dan terlihat mewah adalah Payas Agung. Dahulunya, pakaian ini digunakan untuk kalangan brahmana, ksatriya, dan waisya.
Baju ini sekarang digunakan oleh pengantin dalam upacara pernikahan. Payas Agung menggambarkan keindahan, warnanya juga cerah sehingga mencirikan kebahagiaan dan kegembiraan.
Tiap daerah memiliki kekhasan, namun masih tetap sesuai pakem. Contohnya Payas Agung adat Medeeng Singaraja (Buleleng) yang berbeda dengan Payas Agung adat Asak Karangasem.
Pengantin wanita mengenakan tapih atau sinjang prada selain warna kuning dan putih, kamen prada, sabuk prada, sabuk toros, dan selendang prada warna kuning.
Sedangkan, pengantin pria mengenakan aksesoris berupa gelung agung dan mengenakan rumbing di telinga, memakai badong, gelang nagasatru dan gelang kana, serta cincin bermata merah. Baju yang dipakai adalah kain kancut prada, kampuh prada, dan umpal prada.
Payas Agung juga digunakan oleh manggala/pangarep yang diupacarakan dalam upacara manusa yadnya dan sebagai yajamana pada upacara yang lain.
2. Payas Madya
Pakaian Payas Madya adalah pakaian adat tingkat menengah. Biasanya dipakai dalam upacara potong gigi dan ngidih.
Upacara potong gigi adalah penyucian diri ketika sudah dewasa dan akan memasuki jenjang pernikahan. Sedangkan ngidih yaitu ketika laki-laki meminang dan datang ke rumah calon pasangan.
Untuk upacara ini, payas madya memiliki ciri penataan rambut menggunakan gelung moding. Selain itu, juga menggunakan semi dari malem, dan memakai aksesoris rambut berupa bunga kompyong, 7 sasak lepas, dan 21 bunga sandat emas. Busananya menggunakan kamen songket asli tenun bali, lengkap dengan sabuk prada belah ketupat 4 warna.
Para wisatawan yang mau memasuki kawasan suci, seperti pura, situs peninggalan kerajaan tertentu dan lain-lain, juga harus memakai pakaian madya untuk menghormati dan menjaga kesucian tempat tersebut.
Secara sederhana, ini hanya terdiri dari tiga bagian pokok. Pertama adalah kamben, yaitu selembar kain yang dililitkan pada tubuh bagian bawah.
Kedua adalah kancrik, yaitu selendang untuk ikat pinggang. Ketiga adalah udeng, yaitu kain ikat kepala. Sedangkan bajunya bebas, asal rapi dan sopan.
3. Payas Alit/Payas Nista
Payas alit atau payas nista adalah baju adat Bali yang paling sederhana dan bisa dipakai sehari-hari, termasuk upacara adat harian di pura.
Yang dikenakan biasanya hanya menggunakan kebaya dan songket. Laki-laki pun hanya menggunakan kemeja putih dan dilengkapi dengan kamen serta udeng.
Unsur dan Filosofi Baju Adat Bali
Dalam laman Kementerian Agama, dijelaskan bahwa konsep baju adat Bali adalah tapak dara atau swastika yang terdiri dari tiga bagian atau tri angga.
Pertama adalah dewa angga, yaitu bagian dari leher sampai kepala. Kedua adalah manusa angga, yaitu bagian atas pusar sampai leher. Ketiga adalah butha angga, yaitu bagian pusar sampai bawah.
Sedangkan unsur pakaiannya dibedakan antara putra dan putri. Berikut ini unsur-unsur baju adat Bali beserta filosofinya.
Baju Adat untuk Putra
Pada pakaian adat Bali untuk putra, ada beberapa unsur yang dikenakan, yaitu sebagai berikut:
1. Kamen/Kain
Putra menggunakan pakaian adat yang diawali dengan kamen atau kain. Kain digunakan dengan lipatan melingkar dari kiri ke kanan karena sebagai pemegang dharma.
Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki. Maknanya karena putra adalah penanggung jawab dharma sehingga harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat berpijak, yaitu dharma.
2. Kancut/Lelancingan
Putra juga menggunakan kancut atau lelancingan dengan ujung lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat). Ujungnya yang sampai ke bawah dimaknai sebagai penghormatan kepada ibu pertiwi.
Kancut juga sebagai simbol kejantanan. Namun saat persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan. Ini dimaknai sebagai pengendalian, tetapi kejantanan boleh ditunjukkan saat ngayah.
3. Kampuh
Saat kejantanan itu harus ditutup, maka ditutupi dengan saputan atau kampuh. Tinggi saputan kira-kira sejengkal dari ujung kamen.
Saputan juga berfungsi untuk mengadang musuh dari luar. Saputan dipasang melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
4. Umpal
Kemudian berlanjut mengenakan umpal atau selendang kecil yang maknanya adalah pengendalian hal-hal negatif. Ini membagi tubuh menjadi dua, yaitu bhuta angga dan manusa angga.
Umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi. Untuk putra, umpal harus terlihat sedikit sebagai simbol siap memegang teguh dharma dalam kondisi apapun.
5. Baju/Kwaca
Pada manusa angga, putra mengenakan baju atau kwaca yang bersih, rapi dan sopan. Jenis baju ini berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Ini adalah wujud memperindah diri sebagai rasa syukur kepada Tuhan.
6. Udeng/Destar
Udeng atau destar adalah kain ikat kepala. Udeng ada tiga jenis, yaitu:
a. Udeng Jejateran
Udeng ini digunakan untuk sembahyang, yakni menggunakan simpul hidup di depan, di sela-sela mata, sebagai lambang cundamani (mata ketiga) dan pemusatan pikiran. Jika ujungnya menghadap ke atas adalah simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.
b. Udeng Dara Kepak
Udeng ini biasa dipakai oleh raja. Terdapat bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala sebagai lambang pemimpin yang selalu melindungi rakyat.
c. Udeng Beblatukan
Udeng ini dipakai oleh pemangku. Tidak ada bebidakan, tetapi hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat ke bawah. Ini melambangkan pemangku yang lebih mendahulukan kepentingan umum.
Busana Adat untuk Putri
Pada pakaian adat Bali untuk putri, ada beberapa unsur yang dikenakan, yaitu sebagai berikut:
1. Kamen
Seperti busana adat putra, baju adat ini dimulai dengan mengenakan kamen. Tetapi lipatan kamen putri melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti yang bertugas menjaga agar laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma.
Tinggi kamen putri sekitar satu telapak tangan. Ini menyimbolkan bahwa perempuan sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek.
2. Bulang
Kemudian setelah kamen, busana putri yang dikenakan adalah bulang yang berfungsi menjaga rahim dan mengendalikan emosi.
3. Selendang/Senteng
Selendang/senteng pada putri diikat menggunakan simpul hidup di sisi kiri. Ini sebagai simbol sakti dan mebraya. Selendang putri dipakai di luar, tidak ditutupi baju sebagai simbol siap membenahi putra jika melenceng dari ajaran dharma.
4. Kebaya
Terakhir adalah mengenakan baju yang disebut kebaya, serta pepusungan yang memiliki tiga jenis, yaitu:
a. Pusung Gonjer
Pusung gonjer digunakan untuk putri yang belum menikah, dibuat dengan cara melipat rambut sebagian dan sebagian lagi digerai. Ini sebagai lambang bahwa putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih laki-laki.
b. Pusung Tagel
Pusung tagel digunakan untuk putri yang sudah menikah.
c. Pusung Podgala
Pusung podgala atau pusung kekupu yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti.
Demikian tadi penjelasan mengenai baju adat Bali yang secara umum terdiri dari 3 jenis. Telah kita ketahui pula fungsi masing-masing baju adat, beserta unsur-unsur dan filosofinya.
(bai/inf)