Berbicara soal Bali, hal yang langsung terbenak di pikiran orang-orang adalah tempat wisata yang menawarkan keindahan alam. Namun tak hanya itu, Pulau Dewata juga terkenal akan budayanya, bahkan beberapa di antaranya sudah dikenal luas oleh masyarakat lokal maupun asing.
Dari sekian banyak kebudayaan Bali, salah satu tradisi adat yang terus dilaksanakan oleh masyarakat setempat adalah tradisi Mesalaran. Ternyata, tradisi Mesalaran sendiri dilakukan setiap tahun dan sudah menjadi tradisi turun temurun.
Lantas, seperti apa sih tradisi Mesalaran? Lalu apa makna di balik tradisi Mesalaran sehingga digelar terus menerus setiap tahun? Simak pembahasannya secara lengkap dalam artikel ini yuk detikers.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenal Tradisi Mesalaran atau Metimpugan
Dikutip dari buku Mesalaran (Metimpugan) di Desa Adat Padang Luwih Tradisi Agraris di Tengah Arus Alih Fungsi Lahan Pertanian oleh I Gusti Ayu Ketut Artatik, tradisi Mesalaran atau disebut juga Metimpugan (perang tipat bantal) merupakan salah satu tradisi adat masyarakat Hindu di Bali. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur manusia karena hasil pertanian yang melimpah.
Tradisi Mesalaran dilaksanakan setiap setahun sekali, yakni tepatnya pada purnama sasih kapat. Tradisi ini berlangsung di Pura Desa Adat Padang Luwih, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.
Sebagai informasi, masyarakat Hindu di Bali memiliki kebiasaan khusus dalam melaksanakan seluruh upacara keagamaan, yakni selalu didasari dengan Tatwaning Wariga, yaitu memilih hari-hari yang baik (padewasan). Menurut kepercayaan, pemilihan hari atau padewasan punya peranan penting dalam melaksanakan suatu upacara yang membawa hal baik, buruk, atau berhasilnya upacara yang akan dilangsungkan.
Maka dari itu, tradisi Mesalaran dilakukan pada saat purnama sasih kapat karena masyarakat Bali percaya bahwa sasih kapat adalah hari di mana pemujaan kepada Hyang Parama Iswara atau Hyang Purusangkara, yang tengah melakukan yoga bersama saktinya dan diiringi para dewata, rsi gana, dan dewa pitara atau leluhur semua.
Selain itu, purnama sasih kapat diyakini sebagai bulan yang penuh berkah, hal ini dapat ditandai dengan mulainya turun hujan dan tanaman menjadi subur sehingga mulai berbunga serta berbuah. Hari purnama sasih kapat juga sering digunakan sebagai hari suci untuk melakukan upacara Yadnya dan melakukan punia.
Jadi, tradisi Mesalaran yang digelar saat purnama sasih kapat adalah sebagai bentuk persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena telah melimpahkan rahmatnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Makna Tradisi Mesalaran
Ada makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Mesalaran, jadi tak hanya sekadar tradisi keagamaan biasa yang digelar setiap tahun. Dijelaskan dalam buku Mesalaran (Metimpugan) di Desa Adat Padang Luwih Tradisi Agraris di Tengah Arus Alih Fungsi Lahan Pertanian oleh I Gusti Ayu Ketut Artatik, pelaksanaan tradisi ini dilatar belakangi oleh dua hal, yakni sebagai berikut:
- Adanya keyakinan bagi masyarakat Desa Adat Padang Luwih bahwa dengan melaksanakan tradisi ini akan diberikan keselamatan, kesuburan, kemakmuran, maupun keharmonisan.
- Pelaksanaan tradisi Mesalaran pada purnama sasih kapat merupakan bentuk pelestarian budaya Hindu di Bali di tengah era globalisasi yang patut dijaga dan dilestarikan, agar tidak hilang serta bisa diwariskan kepada generasi penerus.
Dalam pelaksanaannya, tradisi Mesalaran diawali dengan melakukan sembahyang bersama masyarakat di Pura. Setelah itu, masyarakat yang hadir juga wajib membawa sesajen berupa Salaran yang berisi tipat bantal, masing-masing kepala keluarga membawa sekitar enam buah tipat dan enam buah bantal (makanan yang terbuat dari beras ketan).
Sedikit informasi, dalam tradisi Mesalaran tipat disimbolkan sebagai predana atau perempuan, sementara bantal dilambangkan dengan purusa atau laki-laki. Maka dari itu, nama lain dari tradisi Mesalaran (Metimpugan) adalah perang tipat bantal.
Namun, perang yang dimaksud dalam hal ini bukanlah pertumpahan darah hingga menimbulkan korban jiwa, akan tetapi perang ini adalah hubungan atau pertemuan antara purusa dan predana dengan harapan memperoleh hasil seperti pertemuan antara bumi dan langit, yang mana bisa menghasilkan kesuburan.
Usai mengumpulkan sesajen dan makan bersama, barulah tradisi Mesalaran digelar. Warga yang mengikuti tradisi ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni di sebelah utara dan sebelah selatan Pura Desa. Pembagian kelompoknya juga tidak sembarangan, harus berdasarkan letak banjar masing-masing.
Setelah terbagi dua kelompok dan seluruh warga telah siap, tradisi Mesalaran dimulai dengan saling lempar tipat bantal. Meski saling lempar antara kelompok namun tidak ada rasa marah atau dendam, justru masyarakat bersuka cita karena merasa bersyukur atas keberkahan yang diberikan oleh Tuhan.
Tradisi Mesalaran diikuti oleh enam banjar yang meliputi Banjar Tegal Jaya, Banjar Pendem, Banjar Celuk, Banjar Kwanji, Banjar Gaji, dan Banjar Jeroan. Agar tradisi berjalan lancar, sejumlah pecalang serta dibantu pihak kepolisian akan mengamankan jalannya kegiatan yang berlangsung di Desa Adat Padang Luwih.
Dalam agama Hindu, terdapat juga nilai-nilai keagamaan yang bisa diambil dari tradisi Mesalaran. Apa saja nilai-nilai tersebut? Simak di bawah ini:
1. Nilai Sradha
Sradha merupakan keyakinan yang bersumber dari ajaran agama Hindu, sebab agama memberikan pengetahuan tentang tujuan hidup. Dalam hal ini, tradisi Mesalaran yang digelar pada purnama sasih kapat diharapkan bisa meningkatkan sradha dan bhakti untuk mendapatkan keselamatan lahir dan batin.
2. Nilai Etika
Dalam tradisi Mesalaran, nilai etika yang bisa dipetik adalah masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat dan tata krama ketika pelaksanaan perang tipat bantal. Etika dan tata krama ini dapat menciptakan hal positif di lingkungan masyarakat Desa Adat Padang Luwih, meliputi keharmonisan dan kerukunan.
3. Nilai Estetika
Nilai estetika yang bisa dilihat dalam pelaksanaan tradisi Mesalaran adalah ketika proses pembuatan upakara. Sebab, dalam kepercayaan masyarakat Bali upakara memiliki simbolis dan filosofis, serta mendekatkan penghayatan dan pemahaman terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam nilai-nilai sosial, hal yang bisa diambil dari tradisi Mesalaran adalah sikap kebersamaan masyarakat dalam melaksanakan tradisi perang tipat bantal dari tahun ke tahun. Adanya hubungan erat antara masyarakat membuat tradisi Mesalaran bisa digelar setiap tahunnya, sehingga warga bisa merasa bersyukur sekaligus bahagia.
Itu dia detikers penjelasan mengenai tradisi Mesalaran di Desa Adat Padang Luwih beserta keunikannya. Kalau detikers berencana liburan ke Bali, cari waktu yang tepat ya agar bisa menyaksikan tradisi Mesalaran secara langsung!
(ilf/fds)