Tradisi Lunga ke Taman Sari, Raja Ditandu untuk Usir Hama di Sawah

Tradisi Lunga ke Taman Sari, Raja Ditandu untuk Usir Hama di Sawah

Chairul Amri Simabur - detikBali
Minggu, 23 Okt 2022 12:08 WIB
Raja Tabanan, Ida Cokorda Anglurah Tabanan, ditandu dalam ritual Lunga ke Taman Sari di salah satu wilayah subak di Tabanan. (istimewa)
Raja Tabanan, Ida Cokorda Anglurah Tabanan, ditandu dalam ritual Lunga ke Taman Sari di salah satu wilayah subak di Tabanan. (istimewa)
Tabanan -

Ada tradisi unik terkait aktivitas pertanian di Kabupaten Tabanan. Namanya tradisi Lunga ke Taman Sari. Saat prosesi itu dijalankan, para prajuru atau pengurus subak akan menandu Raja Tabanan untuk berkeliling di areal sawah yang terserang oleh hama.

Kedatangan Raja diharapkan bisa menghalau gangguan hama yang membuat hasil pertanian tidak bisa dipanen sama sekali. Tradisi ini berakar pada dresta (ketentuan adat) yang berlaku pada wilayah pertanian di Tabanan.

"Istilahnya Lunga ke Taman Sari. Lunga itu artinya pergi. Sedangkan Taman Sari ini maksudnya sawah," tutur Raja Tabanan Ida Cokorda Anglurah Tabanan, Sabtu (22/10/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain Lunga ke Taman Sari, tradisi lain yang rutin dilaksanakan oleh para prajuru subak adalah upacara Nangluk Merana. Nangluk Merana digelar setiap enam bulan sekali pada sasih kanem.

"Rutinnya di Pura Pakendungan. Tiap enam bulan sekali. Itu pasti dilaksanakan," ujar Raja Tabanan ke-24 ini.

ADVERTISEMENT

Namun, bila dalam perjalanan, gangguan hama di salah satu atau beberapa subak masih tidak terkendali, prajuru subak akan datang ke Puri Agung Tabanan. Kedatangan mereka untuk meminta tirtha atau air suci di Pura Batur Agung. Jika sudah demikian, barulah Lunga ke Taman Sari dilaksanakan.

"Kalau sudah beberapa kali, paling tidak tiga kali, (gangguan hama) tidak juga reda, barulah prajuru subak datang untuk meminta Raja Tabanan datang ke sawah mereka. Itupun harus disesuaikan dengan hari baik," tegasnya.

Menjelang hari pelaksanaan Lunga ke Taman Sari dan sebelum pergi ke areal persawahan yang terganggu oleh hama, Raja Tabanan terlebih dahulu melakukan persembahyangan di Pura Batur Agung.

"Begitu sampai di subak yang sawahnya terganggu, persembahyangan diawali di Pura Bedugul bersama prajuru setempat. Harapannya tentu memohon agar apa yang diniatkan terkabul. Artinya, bukan karena sakti. Melainkan karena memohon kepada Tuhan," ujarnya.

Setelah upacara di Pura Bedugul tuntas, barulah perjalanan menyusuri persawahan dimulai. Raja Tabanan dengan kerisnya akan ditandu. Prosesi ini bahkan bisa berlangsung sampai dengan malam hari.

"Tergantung luas sawah pada subak tersebut. Apalagi kalau upacara dilaksanakan oleh beberapa subak. Jadi sawah yang dilalui lebih luas lagi. Misalnya saya datang pagi, malamnya baru selesai," ungkap Ida Cokorda Anglurah Tabanan.

Ia sendiri menyebutkan, tradisi ini sudah ada sejak lama. Tidak ada catatan yang menjelaskan asal muasal tradisi ini dilakukan. Ritual ini ada didasari kepercayaan yang merujuk pada dresta atau ketentuan adat di Tabanan.

"Saya sendiri mengetahui ini dari kakek yang menjadi raja terlebih dulu. Menurut saya, dalam tradisi ini, posisi raja di Tabanan memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan aktivitas pertanian," ujarnya.

Meski begitu, ia menegaskan tidak setiap saat tradisi ini bisa dilaksanakan. Paling cepat, pada satu subak paling cepat melakukan tradisi ini setiap tiga tahun sekali. Itupun kalau hasil pertaniannya terancam gagal panen dan petani tidak memperoleh apapun.

Sehingga, jika hama tidak menyerang dan para petani tidak gagal panen, maka prosesi Lunga ke Taman Sari tidak perlu dilakukan. Cukup dengan melaksanakan ritus Nangluk Merana.

"Tidak setiap bulan bisa dilaksanakan. Paling cepat tiga tahun. Karena bagaimanapun, hama yang mengganggu itu juga makhluk yang perlu hidup juga. Mereka juga perlu makan. Asal tidak berlebihan. Kalau berlebihan dan mengganggu inilah yang dikendalikan," pungkasnya.




(iws/hsa)

Hide Ads