Tabanan -
Wayan Nardayana adalah salah satu dalang wayang paling populer di Bali. Pria yang dikenal sebagai dalang Cenk Blonk itu sudah 30 tahun menjadi seorang dalang. Meski begitu, Nardayana mengaku belum siap mementaskan lakon Sapuh Leger.
Untuk diketahui, lakon Sapuh Leger dipentaskan saat Tumpek Wayang sebagai upacara ruwatan. Menurut tradisi Bali, mereka yang lahir saat wuku wayang wajib menjalani upacara ruwatan dengan pementasan lakon Sapuh Leger. Itulah sebabnya, pertunjukan wayang Sapuh Leger bersifat magis.
"Tidak semua dalang mampu mempertunjukan itu, termasuk saya belum berani untuk melakukan pertunjukan itu," tutur Nardayana kepada detikBali, Senin (26/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nardayana, ada beberapa tahapan dan syarat seorang dalang boleh mementasan wayang Sapuh Leger. Pementasan wayang Sapuh Leger juga tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.
"Harus di rumah sang nanggap (yang menanggap). Harus menghadap ke timur atau utara. Dan beberapa syarat lainnya. Derajat upacaranya tinggi," imbuhnya.
Halaman selanjutnya: Ihwal Wayang Sapuh Leger...
Ihwal Wayang Sapuh LegerNardayana kemudian menjelaskan ihwal wayang Sapuh Leger. Dalam Lontar Kala Purana, upacara ruwatan bagi mereka yang lahir pada wuku Wayang dilakukan dengan tirtha atau air suci wayang. Ini sesuai dengan kisah Sang Hyang Kala yang memperoleh izin dari ayahnya, Dewa Siwa, untuk memangsa mereka yang lahir pada wuku Wayang.
Di sisi lain, Sang Hyang Rare Kumara yang juga adik Sang Hyang Kala lahir pada saat wuku Wayang. Sehingga, saat hendak dimangsa kakaknya, Sang Hyang Kala meminta pertolongan seorang dalang.
Sang Hyang Rare Kumara kemudian disembunyikan dalam selawah atau tabung resonansi pada gender atau perangkat gamelan pengiring pertunjukan wayang.
Di sisi lain, perhatian Sang Hyang Kala saat mengejar adiknya teralihkan oleh pertunjukan wayang. Saat pertunjukan, dalang seolah diminta bantuannya oleh Sang Hyang Rare Kumara.
Selain itu, Sang Hyang Kala juga dikisahkan memakan sesajen yang dihaturkan di depan kelir wayang yang sedang dipentaskan. Saat mengetahui bahwa adiknya bersembunyi pada selawah geder wayang, terjadilah perdebatan antara dalang dengan Sang Hyang Kala.
Singkat cerita, perdebatan tersebut kemudian dimenangkan oleh dalang. Itu pula yang menyebabkan Sang Hyang Rare Kumara gagal dimangsa kakaknya. Selain itu, Sang Hyang Kala juga telah memakan sesajen yang dihaturkan di depan kelir pewayangan.
Kisah inilah yang menjadi dasar cerita pementasan wayang Sapuh Leger yang sifatnya sakral dan hanya dipentaskan pada saat Tumpek Wayang. Sehingga mereka yang lahir pada Tumpek Wayang akan memohon tirta wayang sebagai sarana untuk meruwat diri.
"Spesifiknya lagi, bila orang itu mampu, di-lukat (ruwat) dengan pementasan Wayang Sapu Leger atau Sapuh Leger. Sapu atau sapuh itu bermakna bersih atau membersihkan, leger atau leget itu kotoran. Jadi maknanya membersihkan kotoran efek dari pengaruh buruk wuku tersebut," imbuh Nardayana.
Ia menambahkan, di Bali tidak semua orang mampu menanggap pertunjukan Wayang Sapuh Leger. Selain karena sifat pertunjukannya yang sakral, sarana dan perlengkapan upacaranya relatif besar nilainya.
"Sehingga biasanya yang tidak mampu hanya memohon tirtanya saja. Artinya, dalam ajaran Hindu di Bali tidak ada kata harus," tegasnya.
Simak Video "Kemeriahan Gelaran Perdana detikbali Awards 2025"
[Gambas:Video 20detik]