Selama ini, masyarakat di Bali kerap memandang leak atau ajian pangeleakan (ajaran pangeleakan) sebagai ajaran negatif. Ada anggapan bahwa seseorang yang mempelajari ilmu leak selalu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Namun, pandangan tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar. Sebab, konon ilmu pengeleakan awalnya digunakan untuk sarana refreshing.
Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti I Gusti Ngurah Harta menjelaskan, mulanya ilmu pangeleakan adalah kemampuan leluhur orang Bali untuk refreshing usai lelah bekerja. Dahulu, pada siang hari para leluhur orang Bali masih sangat tradisional dan umumnya bekerja di sektor pertanian. Maka malam hari mereka melakukan penyegaran alias healing atau refreshing dengan mempelajari pangeleakan.
"Jadi dia tidak jahat, sama seperti pisau, (apakah) pisau itu jahat? Kan tidak. Tapi kalau diusik di sana ya beda. Kalau diganggu dia para penguasa itu ya beda. Sama seperti tokoh-tokoh bela diri, kalau tidak diganggu seorang petinju tidak mungkin dia melakukan aksi memukul kan gitu. Leak juga begitu. Jadi salah kalau leak itu dikonotasikan negatif. Karena sebagai ajang refreshing," kata Turah Harta kepada detikBali di Perguruan Sandhi Murti, Senin (25/7/2022) sore.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Turah Harta, salah satu penyebab ilmu pangeleakan berkonotasi negatif di masyarakat adalah karena lebih banyak penganutnya yang memuja Durga. Terlebih, dalam konsep tarian atau pewayangan, Durga memang sering dikonotasikan buruk.
Padahal, kata dia, ilmu pangeleakan tak hanya diturunkan dari Durga. Dewa-dewa yang lain, misalnya Brahma, juga menurunkan ilmu pangeleakan. Ilmu pangeleakan yang diturunkan oleh Brahma kebanyakan diterima oleh laki-laki.
Berikutnya Dewi Danu yang merupakan peragaan konsep Dewa Wisnu juga menurunkan ilmu pangeleakan. Ilmu pengeleakan itu diturunkan ke Balian Batur di kuburan atau setra Desa Adat Terunyan.
Menurutnya, baik buruknya pandangan masyarakat terhadap leak juga tergantung sudut pandang orang yang menilai.
"Jadi semua dewa menurunkan pengetahuan-pengetahuan (pangeleakan) itu. Dan itu yang tidak dipahami oleh orang-orang yang mendengar cerita tapi tidak membaca literatur tentang atau lontar tentang pangeleakan itu sehingga dikonotasikan negatif," ujar Turah Harta.
"Ya sama seperti partai lah, seperti komunis sampai sekarang kan dicap negatif. Tapi di China apakah komunis itu selalu membunuh orang? Kan tidak. Tergantung dari sudut mana kita menilai. Apakah kita menganggu kedaulatan pengusaha leak itu apakah tidak, kalau kita bersahabat tidak masalah, tidak akan pernah melakukan hal-hal yang menyakitkan kita," imbuhnya.
Baca juga: Kisah Barong dan Rangda di Bali |
Merasa Berdosa
Lontar Durga Purana Tattwa menyebutkan bahwa orang yang bisa ngeleak tidak boleh mengatakan dirinya bisa. Sebab, orang yang memiliki ilmu pangeleakan dan mampu merahasiakan maka akan mencapai kebahagiaan.
"Karena 1000 kali kelahiran dia akan menderita. Kalau dia mampu merahasiakan dirinya maka dia akan mencapai kebahagiaan luar biasa dan tidak akan reinkarnasi lagi. Begitu dalam Durga Purana Tattwa ini. Jadi makanya orang bisa ngeleak itu merahasiakan dirinya supaya tidak kentara tidak diketahui," kata Turah Harta.
Ia menambahkan, sebenarnya sangat ingin melestarikan pengetahuan pengeleakan untuk masyarakat Bali. Namun, ia mengaku merasa berdosa ketika memperkenalkan ilmu pangeleakan pada awal tahun 2000. Saat itu, Turah Harta sempat mengalami tindakan yang kurang santun dari masyarakat.
"Tahu-tahu tiba muncul tulisan di mobil cucun leak. Itu kan sangat tidak baik, sangat tidak sopan, sangat tidak santun. Karena pengetahuan tradisi Bali itu sangat santun sekali, tidak mengumbar, ajewera kalau orang tua bilang, sekarang generasi muda Bali itu malah meremehkan kearifan lokal Bali itu," ungkapnya.
Sejak saat itu, Turah Harta mengaku tidak pernah lagi berbicara tentang pangeleakan. Sebab dirinya merasa berdosa membuat perilaku masyarakat Bali salah setelah mengetahui pengetahuan pengeleakan.
(iws/iws)