Pura Negara Gambur Anglayang merupakan salah satu pura tertua di Bali Utara. Pura ini terletak di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali. Kawasan suci pura ini cukup unik karena di dalamnya terdapat 8 pelinggih yang mencerminkan unsur keberagaman. Itulah sebabnya, Pura Negara Gambur Anglayang juga disebut sebagai Pura Pancasila.
Adapun kedelapan pelinggih tersebut yakni pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, Ratu Bagus Melayu dari unsur suku Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas sebagai unsur etnis China atau Budha. Berikutnya pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri, dan Ratu Gede Siwa mencerminkan unsur Hindu. Satu lagi, ada pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang mencerminkan unsur Muslim.
Menurut Penyarikan Pura Negara Gambur Anglayang, Nyoman Laken (72), sejarah pura ini tidak terlepas dari sejarah perdagangan di masa lalu. Di kawasan pura tersebut, awalnya berdiri sebuah pelabuhan bernama Pelabuhan Kuta Banding. Pelabuhan tersebut dikelilingi oleh benteng dan menjadi pusat perdagangan di Nusantara. Oleh karena itulah, pelabuhan ini didatangi oleh banyak pedagang dari bebagai etnis dan agama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu hari, cerita Laken, sebuah perahu bersandar di pelabuhan itu untuk melakukan transaksi perdagangan. Perahu itu membawa sejumlah penumpang dengan latar belakang etnis yang beragam. Setelah bertransaksi, mereka kembali berlayar untuk pulang asal masing-masing. Namun, perahu yang ditumpangi tiba-tiba mengalami kerusakan sehingga harus menepi kembali ke Pelabuhan Kuta Banding.
Mereka sempat meminta pertolongan kepada masyarakat setempat, namun tetap tak berhasil. Panik, salah satu awak kapal mengajak rombongan lainnya melakukan persembahyangan untuk memohon keselamatan di sebuah pelinggih yang terdapat di kawasan itu.
"Mereka bersembahyang di sana total ada sekitar 9-13 orang mohon keselamatan dan kelancaran usaha. Meraka pun berjanji, jika memperoleh keselamatan, mereka akan membangun tempat suci di kawasan tersebut," kata Nyoman Laken.
Laken menyebut, Presiden pertama Indonesia Soekarno juga pernah datang ke Pura Gambur Anglayang untuk bersembunyi dari kejaran penjajah Belanda sekitar tahun 1940-an. Beberapa tahun setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno kembali datang dan menghaturkan sebuah bendera merah putih agar disimpan di Pura Negara Gambur Anglayang.
"Tahun 1941 Presiden Soekarno rauh (datang) dicari oleh penjajah Belanda, berlari ke pura dan tidak diketahui. Lalu di tahun 1950, beliau maturan bendera merah putih. Sejak saat itulah pura ini disebut pura Pancasila," kata Laken.
Kawasan suci Pura Negara Gambur Anglayang hingga kini dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Pura yang sarat dengan pesan kebhinekaan ini kerap didatangi oleh pemedek. Mereka bersembahyang memohon keselamatan dan kesuksesan.
"Banyak yang mepinunas (memohon) disini, dan banyak yang berhasil mencapai tujuannya. Kebanyakan dalam dunia kerja, mulai politik sampai dengan usaha," sambungnya.
(iws/iws)