14 Warisan Budaya di Tabanan, Tradisi Siat Sambuk-Mesuryak

14 Warisan Budaya di Tabanan, Tradisi Siat Sambuk-Mesuryak

Tim detikBali - detikBali
Minggu, 12 Jun 2022 16:23 WIB
Tradisi Siat Sambuk Saat Pengerupukan di Pohgending, Tabanan.
Foto: Pemkab Tabanan
Tabanan -

Bali sangat kaya akan ragam budayanya. Termasuk budaya yang dimiliki Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan setidaknya memiliki 14 budaya lokal yang sampai saat ini dilestarikan dengan baik. 14 budaya tersebut terdiri dari tradisi dan tari-tarian asli Tabanan. Dilansir dari laman resmi infowisata.tabanankab.go.id pada Minggu (12/6/2022) berikut 14 budaya di Kabupaten Tabanan.

1. Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah di Puri Kediri, Tabanan

Terdapat tradisi yang unik di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, yaitu tepatnya pada Puri Kediri. Tradisi yang unik ini sering disebut dengan "Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah". Tradisi ini dilaksanakan setiap 10 hari sesudah hari raya galungan yaitu tepatnya pada hari raya kuningan (Saniscara Kliwon Kuningan).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah itu sendiri merupakan ritual mengantar Keris Ki Baru Gajah dengan jalan kaki sejauh 14 kilometer dari Puri Kediri menuju Pura Pekendungan di Desa Pakraman Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan saat Hari Raya Kuningan. Ritual ini dilaksanakan keluarga Puri Kediri bersama enam banjar di Desa Adat Kediri.

Tradisi ritual Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak abad ke-18. Biasanya, sebelum berangkat menuju Pura Pekendungan, lebih dulu dilaksanakan persembahyangan bersama peserta ngerebeg di Pura Suci areal Puri Kediri dan Pura Panti yang tak jauh dari Puri Kediri.

Keris Ki Baru Gajah harus dibawa oleh keturunan brahmana mengelilingi Puri Kediri, sebagai simbol mengelilingi Desa Adat Kediri, untuk nangluk merana (menetralisir aura negatif), lalu baru dilanjutkan menuju pura pekendungan dengan "Tradisi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah". Tradisi ini di diiringi dengan gong baleganjur lengkap dengan atributnya seperti, tombak, kober atau bendera, dan lainnya.

2. Tradisi Tarian Sang Hyang Sampat di Desa Pakraman Puluk Puluk, Penebel

Tradisi unik yang berlokasi pada Desa Puluk-puluk, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yaitu "Tradisi Tarian Sang Hyang Sampat". Di mana pada saat menjelang panen, tepatnya pada musim tanam padi taun atau padi Bali, maka akan digelar nedunang Sang Hyang Sampat yang sudah menjadi tradisi turun menurun di Desa Pakraman Puluk Puluk, dilaksanakan dalam waktu kalender digelar setiap satu tahun sekali sebelum Ngusaba Gede di Pura Bedugul. Tradisi Tarian Sang Hyang Sampat tujuannya untuk Nangkluk Merana, melindungi tanaman padi para petani dari serangan hama dan penyakit.

Prosesi Sang Hyang Sampat sendiri digelar selama tiga hari berturut dengan upacara yang dipusatkan di Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk-puluk. Terdapat dua Sang Hyang Sampat yang memang melinggih di Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk Puluk yang terdiri dari Sang Hyang Sampat Lanang (laki-laki) dan Sang Hyang Sampat Istri (perempuan).

Lidi dari Sang Hyang Sampat pun bukan lidi sembarangan, melainkan lidi Ron dan lidi Nyuh Gading, dengan jumlah lidi yaitu sebagai berikut :

1. Jumlah lidi Sang Hyang Sampat Lanang adalah 108 di mana angka 1 berarti Tuhan adalah satu, angka 0 artinya Tuhan tidak berawal dan tidak berakhir, dan jumlah dari angka 1 ditambah 0 ditambah 8 adalah 9, yang merupakan arah penjuru dunia.

2. Jumlah lidi Sang Hyang Sampat istri yang 99 yang artinya arah penjuru dunia.

Sebelum roh widyadara merasuki Sang Hyang Sampat, sejumlah warga pun menyanyikan tembang Sang Hyang Sampat untuk mengundang para widyadara turun ke Bumi. Adapun petikan tembang Sang Hyang Sampat adalah sebagai berikut :

"Dong dauhin semitone uli taman sari, metangi ayu metangi, juru kidung sampun rauh. Pang enggal enggal nadi, ring sunia takon karman, I ya karmaning jajar, gumara gana, gumara sidi, Ya tumurune menga mengo, wenten ganjar nadi Sang Hyang.."

Saat Sang Hyang Sampat hendak disineb atau dilinggihkan kembali di Pura Bale Agung, maka juga ada tembang yang mengiringi dengan lirik sebagai berikut : "Simping simping jemak lebang, tangane kuning, ngerejang ya cara jawa, Metu saking Suralaya, Suralaya inga gatra ngelungang pakir, Lengkek elengkok lengkung.."

3. Tradisi Siat Sambuk Saat Pengerupukan di Pohgending

Di Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Tabanan terdapat tradisi yang bernama 'Siat Sambuk'. Siat Sambuk (Perang Serabut Kelapa) biasanya dilaksanakan sehari sebelum hari raya Nyepi yaitu tepat pada hari pengerupukan sebelum matahari tenggelam (sandikala). Dijelaskan, sejak tahun 1995, ritual Siat Sambuk menerapkan strategi perang modern. Dalam Tradisi Siat Sambuk ini, ada pasukan 'Serbu' yang tugasnya khusus melempar lawan dan ada pula pasukan 'Logistik' yang tugasnya membawa sambuk membara untuk dijadikan senjata oleh pasukan 'Serbu'.

Pasukan siat sambuk biasanya dibagi dua yaitu Wong Kaja (kelompok utara) maupun Wong Kelod (kelompok selatan). Kedua kelompok ini sama-sama telah menyiapkan amunisi berupa tumpukan sambuk berisi bara api. Muda-mudi akan saling melempar sambuk yang sebelumnya sudah dibakar diiringi dengan gamelan Baleganjur yang semakin membakar semangat. Uniknya, tak ada yang pernah terluka ataupun terbakar dalam ritual tersebut.

Selain untuk meneruskan tradisi dari leluhur, Siat Sambuk juga dipercaya sebagai penolak bala dan menetralisir hal-hal negatif pada lingkungan desa. Setelah tradisi siat sambuk selesai, semua pasukan berkumpul di pertigaan desa dan bersama-sama nunas tirta, kemudian saling bersalaman, saling merangkul, seolah tidak ada perang yang baru saja usai dilakukan.

4. Tradisi Sarin Taun di Pura Ulun Suwi Candikuning

Tradisi Sarin Taun yang sudah berlangsung sejak jaman dulu di Pura Ulun Suwi Candikuning yang berlokasi di Banjar Gunung Sari, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Tradisi Sarin Taun merupakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang telah diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berlangsung setiap 3 (tiga) tahun sekali, untuk menggelar upacara Sarin Taun ini, masyarakat pada desa jatiluwih harus melalui piodalan alit dua kali, kemudian piodalan ageng satu kali, dilanjutkan piodalan alit dua kali lagi, kemudian baru ngaturan Sarin Taun ini.

Tradisi Sarin Taun ini memang rutin dilaksanakan di Pura Ulun Suwi Candikuning oleh krama Subak Jatiluwih Tempek Gunung Sari. Ketika melakukan upacara Sarin Taun, maka masing-masing anggota subak membawa Dewa Nini yang sudah dirias cantik. Dewa Nini sendiri merupakan ikatan padi yang dibuat para petani usai panen padi Bali, yang kemudian diletakkan pada Lumbung padi yang ada di masing-masing rumah masyarakat.

5. Tari Baris Memedi di Desa Jatiluwih

Salah satu tarian sakral yang ada di daerah Tabanan yaitu Tari Baris Memedi. Tarian ini hanya ditarikan pada saat upacara atiwa-tiwa saja atau ngaben massal (ngerit) di Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Tarian Baris Memedi biasanya ditarikan sekitar 15 orang atau lebih. Kostum yang digunakan saat menarikan Tari Baris Memedi ini sangat unik, yaitu menggunakan daun pisang kering (Keraras), daun andong dan kain kasa (berwarna putih).

Para penari Baris Memedi dihias sedemikian rupa sehingga penampilannya menyeramkan. Wajah mereka dipoles hingga seperti memedi (makhluk halus). Karena tarian ini termasuk tarian sakral maka pada saat tarian ini berlangsung tak heran jika ada beberapa penari yang kerasukan pada saat upacara. Masyarakat setempat percaya, tarian ini bertujuan untuk mengantarkan roh ke nirwana.

Rangkaian para penari ini belum dikatakan selesai, jika ada yang belum sadar maka akan dihaturkan segehan di setra. Setelah mereka kembali ke setra para penari ini akan mandi ke sungai. Tujuanya untuk membersihkan diri, kemudian kembali ke setra untuk nebusin artinya mengembalikan jiwa yang sebelumnya sempat tidak menyatu. Lalu dilanjutkan proses melukat dan disini baru dikatakan penari sadar sepenuhnya.

6. Joged Dadua

Beberapa sebutan/nama untuk merujuk pada tarian joged yang terdapat di Banjar Suda Kanginan seperti :

Joged Duwe: tarian ini berkait langsung dengan ritual keagamaan, dominan pada ritual sakral upacara piodalan yang dilaksanakan di banjar Suda Kanginan, dan pura-pura yang memiliki paiketan/kaitan dengan Ida Bhatara/i yang malingga di Sudha Kanginan.

Joged Pingitan: tarian joged ini tidak seperti joged lain pada umumnya yang dipentaskan secara profan untuk hiburan dan bisa diibingi oleh khalayak umum. Joged jenis ini memang dipingit, dan hanya dipentaskan pada acara-acara ritual magis tertentu saja dan pengibingnya pun adalah para sutri yang telah memiliki ayahan untuk hal tersebut.

Joged Klasik: sebutan yang diberikan oleh orang-orang 'modern', seperti kalangan seniman/akademisi, yang menurutnya bisa diklasifikasikan/ dikategorikan sebagai seni atau tarian klasik.

Menurut penuturan para tetua banjar Suda Kanginan, bahwa joged Duwe telah diketahui ada sejak tahun 1920-an, atau bahkan lebih sebelum tahun tersebut, dan mempunyai kaitan erat dengan keberadaan Gong Kebyar Puspa Nadi yang ada sekarang. Ketika itu, keberadaannya hanya baru beberapa tungguh gamelan saja (seperti gangsa 4 tungguh, reong, jublah dua tungguh, kemong, celuluk, dan gong), atau lebih dikenal dengan sebutan gong sibak, yang memang khusus diperuntukkan untuk mengiringi tarian joged tersebut.

Penari pertama sebagai penari joged tersebut pada saat dilatih di Puri Kediri, konon penari tersebut berasal dari keluarga Nang Cekeg warga Banjar Suda Kanginan dan selanjutnya penari tersebut terus membina generasi berikutnya. Sejak itu, keberadaan joged duwe tetap eksis, artinya bisa diupah yang selalu ditemani oleh pemangku. Kemudian, siring berjalannya waktu, joged tersebut kalinggihan dan menjadi joged pingitan, dengan pengertian joged ini tidak boleh ditarikan di tempat/wilayah sebel/cuntaka, dan hanya boleh ditarikan pada upacara dewa yadnya dan manusa yadnya.

Kemudian sekitar tahun 1940-an dan tahun 1950-an, gong pengiring tari joged tersebut dilengkapi dan menjadi satu kelengkapan gong. Pada masa tahun 1970-an, joged ini pernah diminta pentas secara khusus oleh Ida Cokorda Lingsir Puri Tabanan untuk sengaja dipentaskan di hadapan beliau sebagai pembuktian bahwa tari joged pingit ini masih tetap eksis dan tetap lestari.

Pada saat tersebut , Ida Cokorda Lingsir menyarankan agar kesenian ini jangan sampai punah, dan agar tetap dipentaskan pada waktu kegiatan dewa yadnya dan manusa yadnya. Hal ini juga dikuatkan secara niskala, yang meminta agar keberadaan joged ini jangan sampai tidak aktif.

7. Tradisi Mapeed di Pura Alas Kedaton

Ada yang unik saat piodalan atau pujawali di Pura Alas kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Para perempuan khususnya ibu PKK Bali serentak berkebaya putih berbaris panjang dengan susunan buah dan sesajen di atas kepalanya. Ibu-ibu PKK dari 12 banjar desa kukuh ini melakukan Tradisi Mapeed.

Tradisi Mapeed adalah perwujudan rasa syukur umat Hindu Bali kepada Yang Maha Kuasa. Pujawali di Pura Alas Kedaton datang setiap 6 (enam) bulan sekali, tepatnya setiap 10 hari sesudah Hari Raya Kuningan, tepat pada upacara piodalan atau pujawali pura alas kedaton, para perempuan akan melakukan mapeed pada setiap banjar.

Dengan mengenakan pakaian adat serba putih, dengan rambut disanggul akan menambah kesan etnik pada upacara ini. Gebogakan pun sudah tersusun rapi dengan bermacam-macam buah dan jajanan yang dihiasi dengan janur dan bunga sebagai sesajen yang siap di "suun" menuju pura alas kedaton. selain mapeed, terdapat tradisi ngerebeg yang paling dinanti-nanti oleh masyarakat.

Ngerebeg merupakan ritual berlari keliling pura sebanyak tiga kali dengan membawa bandrang, umbul-umbul, tombak, tedung, dan lelontek. Sementara untuk peserta anak-anak akan berlari membawa ranting kayu. Tradisi ngerebeg sendiri bermakna greget atau suka cita karena seluruh rangkaian upacara pujawali berjalan dengan aman dan lancar.

8. Upacara Mreteka / Ngaben Bikul (Tikus) Di Pura Luhur Puseh Bedha, Desa Bongan

Upacara Mreteka Merana (seringnya masyarakat awam menyebut: Ngaben Tikus) adalah upacara bhuta yadnya yang khas dan satu-satunya yang ada di bali, Kegiatan ini sebenarnya sudah cukup sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan, khususnya oleh krama subak di wilayah desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan.

Mengingat wilayah di desa ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana maupun tidak rutin (Nagata Kala) seperti Ngalepeh dan Mreteka Merana.

Upacara Mreteka Merana/Ngaben bikul ini oleh beberapa subak di Bali belum memasyarakat sekali, sehingga krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang sudah sering melakukannya, maka upacara ini dianggap sebagai Loka Dresta (kebiasaan setempat) apalagi upacara ini dilaksanakan di tempat suci yaitu di penataran Baleagung Pura Puseh Luhur Bedha, Karena dilihat dari hasilnya setelah upacara ini dilaksanakan ternyata telah memberikan bukti nyata bagi kehidupan para petani.

Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi.

Pelaksanaan upacara ini sesuai dengan isi lontar (kitab) seperti lontar Sri Purana dan lontar Dharma Pemacula yang menyebutkan Kapreteka, sama luirnya mretekaning wong mati bener artinya diupacarai seperti mengupacarai orang mati. Oleh karena itu, pandangan masyarakat awam pada akhirnya mengkonotasikan upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben Tikus) karena upacaranya seperti orang ngaben di Bali yang membawa Cuntaka (tidak suci). Pandangan seperti ini hendaknya perlu diluruskan.

Untuk lebih jelasnya, bahwa upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (mengupacarai sarwa prani). Bhuta Yadnya adalah upacara yang tidak membawa cuntaka (tidak suci) . Untuk upacara Bhuta Yadnya ada bermacam-macam seperti memakai layang-layang (kulit binatang) ada yang ditanam ada binatang yang diselamkan di laut atau danau, yang namanya mulang pekelem termasuk di upacarai seperti orang mati yang namanya mreteka merana.

Di desa pekraman Bedha upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan.

Itulah sebabnya berdasarkan kesepakatan krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang terdiri dari Subak Gubug I, Subak Gubug II, Subak Sakeh, Subak Tanah Pegat, Subak Lanyah Wanasara, Subak Bengkel dan Pangkung Tibah yang luasnya 900 Ha melaksanakan upacara Mreteka Merana.

9. Tradisi Mesuryak di Desa Bongan Gede

Tradisi Mesuryak sebuah tradisi unik yang masih dilaksanakan turun temurun di Dusun Bongan Gede, Desa Bongan, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan - Bali. Upacara ini digelar bertepatan pada Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) setiap 6 bulan sekali, dengan tujuan untuk memberikan persembahan ataupun bekal pada leluhurnya yang turun pada Hari Raya Galungan dan kembali ke nirwana pada Hari Raya Kuningan. Upacara ini mulai sekitar jam 09.00 pagi dan berakhir jam 12 siang, karena setelah lewat jam 12 siang, diyakini para leluhur telah kembali ke surga.

Makna dan tujuan Tradisi Mesuryak ini adalah rasa bahagia, bersuka cita memberikan bekal pada leluhur agar kembali ke alam surga dengan damai dan tenang. Makna Tradisi Mesuryak secara Niskala ialah memberikan bekal kepada leluhur. Bekal merupakan persembahan atau sesajen. Makna Tradisi Mesuryak secara Skala (nyata) ialah memberikan bekal uang.

Diyakini juga oleh warga dengan memberi bekal kepada leluhur tentu akan ada timbal baliknya juga seperti selalu melindungi keturunannya dan memberikan kedamaian bagi keluarganya. Tradisi Mesuryak (bersorak) merupakan tradisi dan keunikan yang sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka ada, tanpa diketahui kapan dimulainya, sehingga sudah menjadi prosesi rutin dan mendarah daging sampai sekarang, tua, muda, dewasa, anak-anak, laki dan perempuan bercampur baur, berdesak-desakan memperebutkan uang, mereka berteriak (mesuryak), bersuka cita, suasana riang gembira, walaupun mereka berebutan, sehingga terpancar keakraban antar warga. Pada masa sebelumnya tradisi ini menggunakan uang kepeng, seiring transisi jaman, uang kepeng diganti dengan uang kertas dan logam.

10. Tari Leko Tabanan

Tarian Leko merupakan tarian hampir punah yang berada di Banjar Tinungan, Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Jenis pementasan tarian leko menyerupai tarian joged. Alasan tarian tersebut dinamai Leko karena instrument yang digunakan mengiringi tarian ini semuanya terbuat dari bahan baku bambu. Kesenian Leko yang berada di banjar tersebut merupakan warisan, telah ada dan aktif sebelum tahun lima puluhan dan tarian leko ini menampilkan gerak tarian menyerupai gerak tari legong keraton sebagai pementasan.

Penampilan joged Leko diawali dengan condong yang dibawakan oleh seorang penari dengan gerak - gerak abstrak, lalu dilanjutkan dengan kupu-kupu tarumyang dibawakan oleh sepasang penari untuk menggambarkan kemesraan sepasang kupu - kupu yang bercengkrama di sebuah taman bunga. Usai kupu-kupu tarum, penampilan dilanjutkan dengan Onte yang juga dibawakan secara berpasangan.

Disusul kemudian dengan Goak Manjus yang menggambarkan sepasang burung gagak sedang mandi dengan riangnya. Terakhir, tampilan joged yang dibawakan beberapa penari yang ditampilkan secara bergiliran. Setiap penari menunjuk salah satu laki - laki dari kerumunan penonton yang akan diajak sebagai pasangang menari dalam beberapa putaran.

11. Tradisi Okokan di Desa Kediri

Di Desa Kediri, Kecamatan Kediri di Kabupaten Tabanan, selama ini telah berhasil melestarikan dan mengembangkan kesenian Okokan, terbukti oleh antusias masyarakat Kediri dalam mementaskan okokan, sehingga bisa menjadi salah satu ciri/ikon Desa Kediri. Tradisi Okokan dilaksanakan warga Tabanan, khususnya Banjar Delod Puri, Desa Kediri, Tabanan.

Okokan merupakan kalung (keroncong) dari kayu yang biasanya digantungkan di leher sapi sebagai kebanggaan. Okokan yang kecil dibuat super jumbo ukuran 90 cm malahan ada yang lebih besar. Okokan jika digoyang mengeluarkan suara yang keras dan bergemuruh jika dimainkan secara beramai-ramai. Secara tertulis memang belum ada prasasti atau lontar yang menuliskan mengenai sejarah tradisi Okokan ini.

Namun, masyarakat setempat sudah mempercayai secara turun temurun bahwa tradisi ini sudah ada sejak tahun 1960. Ketika itu, warga Desa Kediri terkena serangan penyakit atau disebut kabrebehan (malapetaka). Kabrebehan ini menyerang warga dari segala usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penyakitnya pun berbeda-beda, tanpa sebab yang pasti, bahkan ada warga yang meninggal dunia tiba-tiba.

Yang membuat Okokan semakin Mataksu ( punya daya magis) adalah hiasan tapel atau lukisan dengan wajah Boma. Boma merupakan ciri khas Okokan dimiliki Desa Kediri yang memiliki makna keangkaramurkaan atau kemarahan. Sehingga, melaksanakan tradisi ini dipercaya akan mampu menetralisir sifat-sifat negatif yang ada di Desa Kediri. Tak hanya itu, Okokan ini juga dihiasi seperti wastra (kain) berwarna poleng atau hitam putih.

Biasanya tradisi ini dilaksanakan oleh 40 hingga 50 orang yang mengenakan pakaian khusus yang sudah ada. Kemudian, pelaksanaannya juga dikomandoi seorang penabuh yang memainkan kleneng. Semakin cepat tempo kleneng akan diikuti oleh tempo Okokan yang juga diiringi gamelan Baleganjur.

12. Tari Oleg Tambulilingan

Salah satu tari yang menjadi ikon dan kemudian menjadi genre tari Bali pada kurun masa berikutnya adalah Oleg Tamulilingan. Karya tari yang amat kesohor hingga ke mancanegara ini diciptakan I Ketut Marya yang kemudian lebih akrab dipanggil I Mario. Bagaimana sesungguhnya perjalanan awal hingga terciptanya tari Oleg Tamulilingan ini? ADALAH budayawan bernama John Coast (1916-1989), kelahiran Kent, Inggris, sangat terkesan dengan kebudayaan Bali. Sebelum berkiprah di Bali, ketika perang dunia kedua meletus, Coast masuk wajib militer dan sebagai perwira, sampai sempat bertugas di Singapura.

Ketika Singapura keburu dikuasai Jepang, Coast yang berstatus tawanan lalu dikirim ke Thailand. Namun begitu, Coast memang berbakat seni. Ia ternyata melahirkan tulisan "Railroad of Death" pada 1946 yang kemudian mencapai best seller dalam waktu singkat. Hal itu mendorong semangatnya lagi untuk menulis buku "Return to the River Kwai" pada 1969.

Di sela itu, Coast sempat berkolaborasi dengan seniman musik dan tari dari berbagai latar budaya, hingga menggelar pertunjukan konser pasca-perang. Setelah merasa aman, pada 1950 Coast meninggalkan Bangkok menuju Jakarta karena terdorong untuk mengabdi kepada perjuangan Indonesia.

Dalam waktu singkat, ia mendapat kepercayaan dari Bung Karno untuk memegang jabatan sebagai atase penerangan Indonesia. Selama di Indonesia, Coast menikah dengan Supianti, putri Bupati Pasuruan. Ketika menetap di Bali, ia tinggal di kawasan Kaliungu, Denpasar. Cinta Coast pada seni budaya Bali mulai tumbuh saat tersentuh tradisi dan kehidupan masyarakat.

Kesenian ternyata amat memikat hati dan obsesinya untuk mengorganisir sebuah misi kesenian ke Eropa. Selama petualangannya mengamati beberapa sekeha gong di Bali, Coast tertarik dengan penampilan sekaha gong Peliatan. Pada 1952, Coast menilai bahwa Gong Peliatan dengan permainan kendang AA Gde Mandera yang ekspresif cukup layak ditampilkan di panggung internasional.

Dalam rencana lawatan ke Eropa itu, Coast ingin juga membawa sebuah tarian yang indah dan romantik, di samping beberapa tarian yang sudah sering dilihatnya. Atas saran Mandera, Coast lalu menghubungi penari terkenal sekaligus guru tari I Ketut Marya yang kemudian akrab dipanggil I Mario. Mario yang kala itu sudah menciptakan tari Kebyar Duduk yang kemudian menjadi tari Terompong, bersedia bergabung dengan Gong Peliatan.

Coast "merangsang" Mario untuk berkreasi lagi dengan memperlihatkan buku tari klasik ballet yang didalamnya terdapat foto-foto duet "Sleeping Beauty" yaitu tentang kisah percintaan putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming. Maka terinspirasilah Mario menciptakan tari Oleg. Inilah yang diinginkan Coast.

13. Tari Rejang Ayunan Sebagai Sarana Upacara

Sebelum menguraikan asal mula Tari Rejang Ayunan yang ada di Desa Pupuan, terlebih dahulu akan uraikan secara umum tentang asal mula Tari Rejang di Bali. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari bendesa adat desa Pupuan, Tari Rejang merupakan tarian kuno yang bersifat sakral yang khusus ditarikan pada waktu piodalan di pura-pura. Drs. I Gst. Agung Gd Putra dalam bukunya Cudamini Tari Wali menguraikan demikian :

Menurut Usaha Bali ketikan Bhatara Indra menyerang Mayadanawa Raja Bali Aga, setelah Mayadanawa tewas dalam peperangan, maka para dewa berkumpul semua di Manukraya menghadap Bhatara Indra. Pada waktu para Bhatara mendirikan khayangan empat buah yaitu di Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Keduhuran. Setelah selesai para dewa-dewa mengadakan keramaian di Manukraya yaitu Widyadari menari Rejang, Widyadara menari menjadi Baris, para Gandarwa menjadi tukang tabuh, tukang suling, rebab, sloding dan sebagainya. Sejak itulah kalau ada piodalan di pura-pura harus mengadakan ilen-ilen Rejang, Baris Gede dan Pendet (Putra, 1980 : 9).

Melihat keterangan di atas maka dapat ditarik suatu pengertian, bahwa setiap piodalan di pura-pura pada umumnya ditarikan tari Rejang yang merupakan salah satu sarana upacara yang amat penting dan harus dilaksanakan.

Asal mula berdirinya Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya data-data tertulis maupun peninggalan-peninggalan lainnya yang membicarakan. Namun keterangan yang berhasil dikumpulkan dari informan yang berada di daerah itu bahwa asal mula tari Rejang tersebut sebagai berikut :

Oleh "Pemangku" Pura Puseh Bale Agung diterangkan sesuai dengan apa yang diceritakan oleh orang-orang tua yang telah mendahuluinya, bahwa dahulu sekitar abad XI di desa Pupuan hanya terdiri dari dua puluh lima kepala keluarga.

14. Tari Tani, Kreasi Dan Harapan

Tepatnya pada tahun 1957 berawal dari kesuksesan tari Wiranatha yang dibawakan oleh Sagung Rai Mas dari Jro Bongan Kerambitan dengan guru tari dari Bapak Ridet Kerobokan Badung, dimana Sagung Rai Mas mendapat Juara I dalam lomba tari dimana hadiah itu langsung diberikan oleh Bapak Bupati Tabanan lda Bagus Puja pada tahun 1959.

Berjalan atas pengalaman tersebut lda Anglurah Kuarambitan ke lX, (lda Anak Agung Ngurah Anom Mayun) memprakarsai terciptanya sebuah garapan tari kreasi "TARI TANI" yang sangat spektakuler. Dari ide-ide yang sangat brilian dari lda Anglurah dengan penuh harapan dan semangat, maka dipanggillah para dedengkot/tokoh seni tari/tabuh yang ada di Banjar Tengah Kerambitan, seperti bapak I Nyoman Kader dan Pan Sweta dkk.

Mulailah tari itu digarap dengan mendatangkan penari terkenal dari Badung lbu Ketut Reneng, tapi sayang tari itu digambarkan begitu saja tanpa ada garapan yang pasti. Tapi lda Anglurah tidak menyerah begitu saja, dengan kejayaan Taruna Jaya saat itu, mulailah tari itu digarap di Puri Agung Kerambitan.

Dengan kepiawaian I Nyoman Kader (alm), maka tari tani dapat diselesaikan dengan apik oleh beliau, dipilihlah anak wungsu dari Jro Bongan Sagung Rai Mas sebagai penari pilihannya. Tapi sayang tari itu tercipta tanpa tabuh, dari pamrakarsa lda Anglurah, maka dipercayakan penata tabuhnya kepada bapak Sweta (alm.) dkk.

Setelah tari dan tabuhnya dikuasai dengan baik maka mulailah "ngadungan(menyerasikan)" antara tari dan tabuh pengiringnya. Untuk ngadungan (memperpadukan/menyerasikan) bukan pula pekerjaan yang gampang, berkat kesigapan tokoh tua kita terwujudlah Tari Tani yang memenuhi semua persyaratan secara prima.



Simak Video "Video Viral Bule Cekcok dan Siram Peserta Lomba Layangan di Bali"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads