Bali kaya dengan jenis tarian. Salah satunya tarian berko, kesenian asli Jembrana. Penari tarian ini hanya tersisa satu orang seniman yang usianya sudah seratus tahun lebih.
Tari berko sudah tidak ada penerusnya, sehingga terancam punah. Penari yang tersisa hanya Ni Ketut Nepa, tinggal di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali.
Saat ditemui detikBali di rumahnya, seniman tari yang akrab disapa Dadong Barak ini, mengisahkan asal mula tarian berko, perjalanan dan getirnya menjadi penari berko. Saat ini, kondisi kesehatan Dadong Barak sudah sakit-sakitan dikarenakan faktor usia dan banyak lupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai tahun kelahiran, di kartu identitas ia kelahiran Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, 31 Desember 1931. Tetapi, Dadong Barak mengaku lahir jauh sebelum tahun kelahiran yang tercatat. Dadong Barak mengingat ia sudah berumur 120 tahun.
Dadong Barak mengisahkan, ia mulai aktif menari saat masih zaman penjajahan Belanda. Saat itu, ia masih belum menikah dengan suaminya I Nengah Tuntun yang sudah meninggal.
"Umur 15 tahun sube mulai ngigel, konden teko jepang (umur 15 tahun sudah mulai menari, sebelum datang Jepang)," kata Dadong Barak pada detikBali, Jumat (3/6/2022).
Kemudian setelah menikah, ia lebih aktif menari, khususnya tarian berko yang diciptakan Ketut Lasno, karena suaminya penabuh gamelan. Selain pencipta tarian berko, Ketut Lasno, kata Dadong Barak, yang menjadi pelatihnya menari pada zaman itu.
"Ketut Lasno, anaknya Kakek Norden asal jalan perempatan sekitar Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana," ujar Dadong Barak, sambil mengingat.
Menurut Dadong Barak, munculnya kesenian berko berawal ketika Pan Minder membuat alat musik dari bambu, yang dibunyikan saat istirahat pembukaan lahan untuk bertani. Saat itu Lingkungan Pancardawa yang masih semak belukar dijadikan lahan pertanian warga.
"Alat musik gamelan dari bambu itu untuk menghibur saat-saat istirahat," ungkapnya.
Kesenian tradisional berko hampir sama dengan kesenian jegog yang sudah dikenal luas. Menurut Dadong Barak, kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Pan Minder sekitar tahun 1925. Kesenian unik perpaduan antara tari, karawitan, dan seni tabuh dari alat musik tradisional berbahan bambu. Bunyi alat musik bambu itu ternyata disukai masyarakat, sehingga ditambah lagi dan menjadi kesenian yang ditabuh bersama sesama petani.
"Alat musik menggunakan bambu karena tidak bisa membeli besi untuk bahan gamelan. Total ada sembilan buah gamelan untuk kesenian berko ini," kata Dadong.
Pada perkembangannya, sekitar tahun 1935, dilengkapi dengan tarian, sehingga kesenian berko menjadi kesenian utuh, antara musik, tarian, dan nyanyian.
"Dulu anggota sekehenya 60 orang, sekarang sudah meninggal semua. Tinggal saya sendiri," ungkapnya.
Penamaan kesenian berko, lanjut Dadong Barak, karena nada yang dihasilkan alat musik bambu itu bernada sumbang atau dalam Bahasa Bali disebut bero. Masyarakat kemudian menyebut bero-bero kone, sehingga dari asal kata bero dan kone diberi nama kesenian berko.
Kata Dadong Barak, kesenian ini mengalami masa jaya sejak tahun 1930-an. Meski tidak mengingat pasti kapan tepatnya kesenian ini muncul, namun menurutnya tarian berko itu dibuat untuk hiburan warga usai bekerja.
Selain sebagai penari berko, Dadong Barak dulunya juga sempat menjadi pedagang keliling, menjual ikan laut segar di daerahnya hingga ke desa sebelah. "Semengan sube mejalan medagang keliling (pagi pagi sudah keliling jualan)," ujarnya.
Saat masih bisa menari, Dadong Barak sempat mengajarkan tarian berko pada remaja sekitar rumahnya. Saat ini sudah ada tiga remaja yang giat berlatih menari berko.
"Kalau ada undangan menari, baru biasanya mereka berlatih," tukasnya. Dadong Barak berharap semakin banyak yang belajar menari berko, sehingga kesenian berko tidak punah.
(irb/irb)