Tradisi Unik Galungan di Busungbiu Buleleng, Tidak Memasang Penjor

Tradisi Unik Galungan di Busungbiu Buleleng, Tidak Memasang Penjor

Made Wijaya Kusuma - detikBali
Kamis, 09 Jun 2022 22:25 WIB
Sarana banten tetegenan.
Sarana banten tetegenan. Foto: Istimewa
Buleleng -

Ada yang unik selama perayaan Hari Raya Galungan di Desa Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Pasalnya, masyarakat Desa Busungbiu memiliki tradisi unik, yakni tidak memasang penjor selama berlangsungnya Hari Raya Galungan. Penjor sendiri merupakan simbol dari naga basuki yang memiliki arti kesejahteraan dan kemakmuran. Bagi umat Hindu di Bali, penjor itu diartikan sebagai simbol gunung yang dianggap suci.

Kelian Desa Adat Busungbiu, Gede Yasa mengatakan, tradisi tidak memasang penjor ini memang sudah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat di Desa Busungbiu. Hal itu dikarenakan, kata Yasa, sejak dahulu masyarakat meyakini bahwa Desa Busungbiu memiliki penjor niskala (tidak berwujud), yakni penjor yang memiliki sampian emas. Di mana, penjor tersebut disimbolkan dalam bentuk candi paduraksa yang ada di Pura Puseh Desa Busungbiu. Karena memang dahulu di ujung candi paduraksa itu terdapat emas sebesar butiran telur.

"Dari saya kecil sudah ada pemahaman bahwa di Busungbiu tidak memasang penjor karena sudah ada penjor secara niskala, penjor mesampian emas, itu tradisi turun-temurun yang sudah kami pahami secara tutur ke tutur," kata Gede Yasa, saat ditemui detikBali, Kamis (9/6/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun secara sekala (nyata), Desa Busungbiu juga mempunyai tatanan upacara sejenis penjor, tapi dengan bentuk yang berbeda. Di mana sarana yang digunakan berupa banten tetegenan, tidak sama dengan penjor pada umumnya.

"Setelah ditelusuri, bisa saja mungkin lelulur-leluhur kami zaman dulu cara beliau mempersembahkan makna penjor itu, seperti ini adanya, wujudnya dalam bentuk tetegenan," jelasnya.

Banten tetegenan merupakan banten dresta yang sudah digunakan masyarakat sejak dahulu. Di mana menurut leluhurnya, banten tetegenan dan penjor memiliki konsep yang sama. Banten tetegenan memiliki makna sebagai perwujudan rasa bakti atas anugerah yang sudah diberikan Ida Bhatari Hyang Tamuwuh, Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai penguasa hutan. Maka dari itu, semua hasil bumi dipersembahkan sebagai wujud terima kasih, yang disimbolkan dengan sarana banten tetegenan.

"Setelah saya teliti, antara penjor dengan ini mempunyai makna yang serupa, makanya kami mengambil benang merah, bisa jadi oleh leluhur kami dulu, dia memang tidak membuat penjor dalam posisi bambu berdiri, tetapi membuat dengan tatanan yang lebih sederhana," ujarnya.

Lebih lanjut yasa menjelaskan, banten tetegenan ini digunakan masyarakat di Desa Busungbiu dalam segala upacara umat Hindu. Jadi bukan hanya khusus untuk Hari Raya Galungan.

"Makanya tetap konsep ini kan, masih secara fakta yang namanya prasasti ataupun bentuk tertulis, kami belum menemukan tatanan kenapa desa kami tidak membuat penjor seperti itu, tetapi tetap kami selaku tetua di desa memaknai semua kegiatan di desa itu dengan sarana upacara yang ada," tukasnya.




(irb/irb)

Hide Ads