Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengeluhkan tak bisa memungut pajak kos-kosan akibat perbedaan penafsiran aturan antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemendagri melarang pemungutan pajak kos-kosan, sementara Kemenkeu membolehkannya.
Perbedaan itu terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (KUPDRD).
"Kementerian Keuangan mengatakan itu (kos-kosan) masuk di dalam kategori aktivitas yang menyediakan akomodasi perhotelan (yang bisa dipungut pajak), tetapi Kemendagri mendefinisikan itu bukan," kata Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Manggarai Barat Maria Yuliana Rotok seusai talkshow Pencegahan Korupsi dan Upaya Inovasi Penerimaan Daerah bersama KPK di Labuan Bajo, Jumat (28/11/2025).
Leli menjelaskan pada saat sosialisasi awal UU HKPD dan PP KUPDRD, pihaknya mengacu pada penjelasan Kemendagri bahwa kos-kosan tidak dapat dipajaki sehingga Bapenda tidak melakukan pemungutan.
Namun pada 4 November 2024, muncul surat dari Kemenkeu yang menyatakan Pemda dapat memungut pajak kos-kosan. Pajak tersebut masuk kategori pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas penyediaan jasa akomodasi perhotelan sebesar 10 persen seperti pajak hotel.
"Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan informasi dari Kemenkeu mengatakan bahwa ada beberapa kabupaten mengirimkan surat. Kabupaten-kabupaten ini potensinya banyak dari kos-kosan. Ketika kos-kosan itu dilarang maka mereka kehilangan begitu banyak potensi," ujarnya.
"Sehingga dikeluarkan surat edaran dari Kemenkeu 4 November 2024, di situ dikatakan kos-kosan itu masuk dalam kategori tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel, diperbolehkan (pungut pajak)," imbuh dia.
Leli menyayangkan ketidaksinkronan aturan di pemerintah pusat. Menurutnya, Pemda diminta bersinergi, tetapi justru kementerian terkait tidak memiliki pemahaman yang sama.
"Tapi anehnya yang mengeluarkan aturan tidak bersinergi. Kemendagri dan Kemenkeu sebagai pembina Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terjadi dualisme interpretasi terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam UU Nomor 1 dan PP 35," kata Leli.
"Kami yang implementasi di lapangan ini pusing, kami yang berhadapan dengan wajib pajak. Kami tidak mau kejadian di daerah lain akhirnya terjadi di sini," imbuh dia.
Pertumbuhan kos-kosan di Labuan Bajo disebut cukup pesat sehingga berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun sampai sekarang Pemda Manggarai Barat belum memungut pajak tersebut karena takut menimbulkan persoalan hukum.
"Terus terang untuk kos-kosan di Manggarai Barat ini pertumbuhannya sangat signifikan dan ketika implementasi UU nomor 1 dan PP 35, kami kehilangan potensi itu," ujar Leli.
"Kami lebih memilih kehilangan potensi daripada kami menerapkan aktivitas yang bertentangan dengan aturan," tambah dia.
Leli meminta Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK Dian Patra yang sedang berada di Labuan Bajo untuk menyampaikan persoalan itu ke Kemendagri dan Kemenkeu.
"Ini sudah saya sampaikan kepada Kemendagri, ini interpretasinya multitafsir terhadap aturan yang mereka buat sendiri," tandas Leli.
Simak Video "Video Minta Pejabat Tak Berpesta, Mendagri: Nanti Bisa Digoreng"
(dpw/dpw)