PHRI Bali Tegaskan Kafe Putar Suara Alam Tetap Wajib Bayar Royalti

PHRI Bali Tegaskan Kafe Putar Suara Alam Tetap Wajib Bayar Royalti

Ahmad Viqi, Fabiola Dianira - detikBali
Selasa, 05 Agu 2025 23:55 WIB
Salah satu kafe di Denpasar, Selasa (5/8/2025). (Fabiola Dianira)
Foto: Salah satu Cafe di Denpasar, Selasa (5/8/2025). (Fabiola Dianira/detikBali)
Denpasar -

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali menegaskan restoran dan kafe yang memutar suara alam, seperti kicauan burung atau suara air, tetap wajib membayar royalti. Sebab, tidak ada bedanya dengan lagu yang diputar di ruang publik.

"Termasuk itu tadi, musik, suara alam, suara binatang, burung dan lain sebagainya. Karena itu direkam kan, ada proses di situ. Selama dia diputar di ruang publik, pasti dia akan kena aturan itu," ujar Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, Perry Markus, saat dihubungi detikBali, Selasa (5/7/2025).

Ia menegaskan imbauan mengenai royalti musik ini telah disosialisasikan dalam pertemuan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena kami kan sudah mengadakan sosialisasi dengan LKMN beberapa waktu yang lalu. Sosialisasi mengenai royalty musik dan lagu ini. Kalau memang putar lagu dan musik, bayarlah royalty-nya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku,"

ADVERTISEMENT

Perry juga menyarankan apabila tidak ingin membayar royalti, pelaku usaha sebaiknya tidak memutar lagu sama sekali.

"Yang kedua, kalau tidak mau bayar, jangan putar lagu dan musik. Itu saja sih sebenarnya. Ringkasnya seperti itu," tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa sistem pembayaran royalti saat ini masih bersifat blanket license atau menyeluruh. Artinya, meski hanya memutar sebagian kecil lagu, pelaku usaha tetap wajib membayar royalti secara penuh sesuai ketentuan.

"Mau kita putar lagu itu atau tidak, kalau kita sudah memperdengarkan musik di ruang publik, tetap kena royalti-nya. Itu perhitungannya seperti yang sudah ada itu," terangnya.

Namun, ke depannya akan diterapkan sistem baru bernama SILM (Sentra Informasi Lagu dan Musik), yang memungkinkan pembayaran royalti berdasarkan lagu yang benar-benar diperdengarkan.

"Kalau itu sudah dibuat, mungkin baru bisa seperti yang tadi. Kayak orang karaokelah kira-kira. Karaoke kan kita putar lagu-lagu yang itu, itu aja yang kita bayar," katanya.

Ia pun berharap DPR bisa segera menyelesaikan rencana perubahan undang-undang walaupun belum tahu kapan akan rampung.

Sementara itu, Sekretaris Badan Pengurus Cabang (BPC) PHRI Badung, I Gede Ricky Sukarta, berharap pelaksanaan regulasi ini tetap menjunjung asas transparansi dan keadilan.

"Walaupun kami mendukung regulasi ini, tentu kita berharap ada transparansi dalam pelaksanaannya oleh LMKN dan pihak terkait. Ini penting demi keharmonisan kehidupan bernegara, khususnya di Bali," ujarnya.

Ia juga mendorong pemerintah untuk lebih aktif dalam melakukan sosialisasi, mengingat pemerintah merupakan pemegang kebijakan.

PHRI NTB Sebut Regulasi Belum Jelas

Sementara itu, Ketua PHRI Nusa Tenggara Barat (NTB), Ni Ketut Wolini mengkritik keras mekanisme penarikan royalti atas pemutaran lagu di kafe dan restoran seusai adanya kasus pidana yang dialami Mie Gacoan di Bali dilaporkan ke Polda Bali oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI).

Laporan itu dilayangkan karena Mie Gacoan diduga tidak membayar lisensi menyeluruh atau blanket license atas pemutaran lagu di gerainya, termasuk di Jalan Teuku Umar, Denpasar.

Menurut Wolini, kebijakan penarikan royalti pemutaran lagu di kafe-kafe membebani pelaku usaha. Larangan pemutaran lagu juga belum memiliki petunjuk teknis yang jelas.

"Para pelaku usaha di daerah belum memperoleh penjelasan resmi mengenai prosedur penarikan royalti. Saya selaku ketua PHRI NTB mengaku belum pernah diajak berdiskusi oleh pihak terkait di daerah," kata Wolini di Mataram, Selasa (5/8/2025).

Wolini juga mempertanyakan petunjuk teknis larangan pemutaran lagu di kafe-kafe. Bahkan PHRI Pusat belum memberitahu teknis larangan tersebut. "Saya selaku Ketua PHRI belum pernah diajak bicara di daerah. Kemana kita konsultasi?" katanya bertanya.

Menurut dia komunikasi antara PHRI pusat dan pengurus daerah terkait larangan tersebut masih minim. Selama ini, koordinasi hanya mengandalkan komunikasi jarak jauh dinilai tidak efektif untuk menghadapi persoalan ini secara langsung.

"Jadinya kalau PHRI pusat okelah. Tapi kan kami secara teknis di lapangan langsung gitu. Agak sulit kami. Nggak bisa koordinasi lewat handphone tidak maksimal," sebutnya.

Wolini juga menyoroti beban berlapis yang kini harus ditanggung oleh pelaku usaha di sektor hotel dan restoran. Selain membayar pajak daerah dan pusat, kini para pengusaha juga harus menghadapi kewajiban royalti pemutaran lagu.

"Ini memberatkan hotel dan restoran. Walaupun dengan terpaksa teman-teman karena kan ancaman hukuman pidana. Semuanya sedikit-sedikit pidana sekarang," tegasnya.

PHRI NTB Wolini berujar berharap pemerintah mempertimbangkan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta yang menjadi dasar penarikan royalti lagu. Menurut Wolini, ketentuan tersebut perlu ditinjau ulang agar lebih adil bagi pelaku usaha di daerah.

"Harapan kami dari PHRI ada revisi undang-undang itu. Ini memberatkan soalnya. Karena kita bayar pajaknya tinggi. Satu obyek pajak atau satu obyek usaha, misalnya nih restoran atau hotel, itu pajak daerah tinggi, pajak pusat juga. Lagi ini royalti. Belum pajak yang lainnya," tandasnya.

Sebelumnya, Mie Gacoan di Bali dilaporkan ke Polda Bali oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI). Laporan itu dilayangkan karena Mie Gacoan diduga tidak membayar lisensi menyeluruh atau blanket license atas pemutaran lagu di gerainya, termasuk di Jalan Teuku Umar, Denpasar.

Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, telah ditetapkan sebagai tersangka. Ada delapan lagu yang diputar di gerai mi itu, tanpa izin atau lisensi.

"Sesuai yang dilaporkan. Yakni, laporan awal, delapan lagu," kata Dirreskrimum Polda Bali Kombes Teguh Widodo kepada detikBali, Kamis (24/7/2025).

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: PHRI Bali Bicara Akomodasi Ilegal di Balik Turunnya Tingkat Hunian Hotel"
[Gambas:Video 20detik]
(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads