Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Tump resmi mengeluarkan kebijakan tarif impor terbaru sebesar 10% untuk sejumlah negara. Aturan ini mulai berlaku efektif hari ini, 5 April 2025.
Langkah ini memicu kekhawatiran akan potensi perang dagang jilid baru dan mengguncang perekonomian dunia yang baru mulai pulih pascapandemi COVID-19. Kebijakan ini juga menandai kembalinya proteksionisme ekonomi ala Trump, yang dinilai dapat mengganggu stabilitas perdagangan internasional.
Risiko Ketidakpastian dan Perlambatan Global
Kepala Ekonom Nomura Research Institute, Takahide Kiuchi, menyatakan bahwa AS kembali menjadi pemicu ketegangan dagang global, seperti yang terjadi di masa pemerintahan sebelumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tarif Trump membawa risiko menghancurkan tatanan perdagangan bebas global yang telah dipelopori Amerika Serikat sendiri sejak Perang Dunia Kedua," ujarnya, dilansir dari detikFinance, Sabtu (5/4/2025).
Senada dengan itu, Ekonom Makro dari Sekolah Bisnis INSEAD Prancis, Antonio Fatas, memperingatkan bahwa dampak dari kebijakan ini berpotensi menaikkan harga dan menurunkan permintaan global.
"Saya melihatnya sebagai pergeseran ekonomi AS dan global menuju kinerja yang lebih buruk, lebih banyak ketidakpastian, dan mungkin menuju sesuatu yang bisa kita sebut resesi global," ujarnya.
China Paling Terimbas, Negara Sekutu Juga Kena
Beberapa negara dikenakan tarif tambahan yang signifikan. China menghadapi beban tarif tertinggi, yakni tambahan 34%, yang jika digabung dengan tarif sebelumnya sebesar 20%, menjadikan total tarif impor barang asal China mencapai 54%.
Kebijakan ini memaksa China untuk mencari pasar baru karena potensi penurunan permintaan dari konsumen AS.
Sekutu dekat AS pun tidak luput dari kebijakan ini. Uni Eropa dikenakan tarif sebesar 20%, sedangkan Jepang sebesar 24%.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebut belum melihat tanda-tanda resesi global saat ini. Namun, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,3% pada 2025.
Aksi Balasan dan Guncangan Pasar Global
Langkah AS tersebut memicu reaksi dari sejumlah negara mitra dagang. China menerapkan tarif balasan sebesar 34% untuk seluruh barang impor dari AS. Kanada dan Uni Eropa juga dilaporkan tengah menyiapkan kebijakan serupa.
Imbas dari ketegangan ini langsung terasa di pasar keuangan global. Harga minyak dunia turun karena kekhawatiran atas perlambatan ekonomi, sementara investor mulai beralih ke aset yang lebih aman seperti obligasi.
"Pasar memperkirakan satu hal, resesi global," kata Kepala Penelitian Valuta Asing Global Deutsche Bank, George Saravelos, dikutip dari Reuters, Jumat (4/4/2025).
Indeks Saham Global Rontok
Kebijakan tarif AS menyebabkan gejolak di bursa global. Di Eropa, indeks STOXX 600 anjlok 4,2%, mencatat penurunan harian terbesar sejak pandemi COVID-19 tahun 2020.
Bursa Asia juga terkena imbas. Indeks Nikkei 225 Jepang turun 2,8% untuk hari kedua berturut-turut, sementara S&P 500 AS melemah 2,5% usai merosot 4,8% sehari sebelumnya. Nasdaq juga turun 2,6%.
"Jika kita mulai melihat negosiasi berlangsung, atau Trump mengurangi beberapa tarif ini, itulah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk meredakan aksi jual. Namun untuk saat ini, hal itu tampaknya sangat tidak mungkin," kata Ekonom dan Ahli Strategi Ekuitas di WisdomTree, Aneeka Gupta.
Sehari sebelumnya, pengumuman tarif oleh Trump membuat saham AS jatuh dalam perdagangan after hours, diikuti oleh kejatuhan pasar Asia pada pembukaan Kamis pagi. Nikkei Jepang sempat anjlok lebih dari 4% saat pembukaan, lalu ditutup turun 2,8%. Kospi Korea Selatan turun 2,7% dan ditutup minus 1%, Hang Seng Hong Kong turun 1,5%, dan indeks ASX 200 Australia turun 0,9%, meskipun tarif untuk Australia hanya sebesar 10%.
Artikel ini telah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini!
(dpw/dpw)