Trump Kenakan Bea Impor Produk RI 32%, Eksportir Bali Bakal Fokus ke Eropa

Trump Kenakan Bea Impor Produk RI 32%, Eksportir Bali Bakal Fokus ke Eropa

Fabiola Dianira - detikBali
Jumat, 04 Apr 2025 15:20 WIB
Perajin menata kap lampu berbahan limbah kerang di Desa Serangan, Denpasar, Bali, Selasa (14/11/2023). Penjualan produk kerajinan tersebut menembus pasar ekspor dengan menerima pesanan dari luar negeri yakni Maladewa, Jepang, Australia dan sejumlah negara-negara Eropa yang dijual seharga Rp10.000 hingga Rp500.000 per unit sesuai ukuran dan bentuk. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/YU
Foto: Salah satu produk kerajinan asal Bali yang menembus pasar ekspor. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Denpasar -

Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mematok bea impor 32% terhadap produk dari Indonesia memicu kekhawatiran di kalangan eksportir Bali. Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Bali, Ketut Dharma Siadja, mengatakan eksportir bersiap mengalihkan pasar ke Eropa.

Ketut Dharma menyebut kebijakan Trump sebagai bentuk perang dagang yang sesungguhnya. Para eksportir, dia berujar, sebenarnya sudah memprediksi arah kebijakan-kebijakan ketika terpilih sebagai Presiden AS.

"Ini adalah perang dagang yang sudah bisa kami duga. Perang zaman sekarang bukan hanya senjata, tapi juga tarif dan perdagangan," ujarnya saat dihubungi detikBali, Jumat (4/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika satu negara menghambat negara lain, maka negara tersebut pasti akan membalas. Itulah yang sedang terjadi sekarang," sambungnya.

Ketut Dharma menyatakan bahwa ekspor ke Amerika Serikat pasti akan mengalami perlambatan akibat tarif baru tersebut. Namun ia menambahkan, besaran tarif kemungkinan akan bervariasi antarkomoditas.

ADVERTISEMENT

"Meskipun diumumkan 32 persen, saya kira tidak semuanya rata. Bisa saja komoditas seperti kayu mungkin tarifnya lebih rendah, sementara rotan, metal, atau produk perkebunan bisa lebih tinggi. Perkiraan saya begitu karena, kan, baru sekali diumumkan. Tapi yang jelas nanti akan terjadi perlambatan nilai ekspor ke Amerika," urai Dharma.

Bali sendiri dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas ekspor unggulan seperti kerajinan kayu, perak, furnitur, bambu, kerang, produk perikanan, vanili, dan hasil perkebunan lainnya.

Menurut Dharma, kebijakan ini tidak lepas dari dinamika hubungan dagang kedua negara. Sebelumnya, Indonesia juga telah memberlakukan tarif yang cukup tinggi terhadap produk-produk AS.

"Mungkin sekarang Amerika berpikir, kenapa hanya kami yang dikenai tarif tinggi? Maka mereka membalas dengan cara yang sama. Ini murni perang dagang, dan kita tidak bisa mengelak," ujar Dharma yang saat ini sedang berada di Turki.

Namun, ia menegaskan, langkah seperti ini kemungkinan adalah bagian dari strategi pemerintah pusat untuk melindungi pasar dalam negeri.

Lebih jauh, Dharma mengingatkan bahwa eksportir di Bali saat ini menghadapi tantangan yang lebih besar dari sekadar perang dagang, yakni situasi ekonomi global yang tidak stabil.

"Kita lihat up and down-nya keras sekali sekarang, apalagi dengan masuknya Trump sebagai Presiden Amerika. Jadi kita mesti hati-hati sekali sekarang. Di AS dan Eropa sendiri mereka sedang mengalami resesi yang pelan-pelan. Jadi daya beli mereka juga berkurang," kata Dharma.

"Kami mesti perkuat saving untuk menghadapi pelemahan ekonomi global ini. Ekonomi dunia memang sedang melemah, dan ditambah lagi dengan kenaikan tarif ini, akan semakin gonjang-ganjing juga perekonomian dunia. It will take a while lah," sambung dia.

Menyikapi situasi ini, Ketut Dharma mempersiapkan strategi agar pelaku ekspor Bali segera mengalihkan target pasar ke wilayah lain, terutama Eropa Barat. Menurutnya, di tengah gejolak pasar global dan ancaman resesi yang perlahan melanda AS dan Eropa, strategi diversifikasi pasar menjadi sangat penting.

"Mungkin dengan kenaikan ini kami harus berfikir untuk menitikberatkan negara-negara di Eropa Barat. Di sana kan masih ada kesempatan ekspor dan pameran. Kalau dalam kondisi seperti ini ya sudah kami coba lihat ke Eropa. Sekarang itu sih saya pikir," paparnya.

Selain diversifikasi pasar, Ketut Dharma juga mendorong perusahaan-perusahaan ekspor di Bali untuk melakukan efisiensi internal. Ia menegaskan efisiensi bukan berarti langsung melakukan pengurangan tenaga kerja, melainkan mengoptimalkan proses produksi agar lebih hemat biaya dan tetap kompetitif secara harga.

"Langkah lain mungkin lebih meningkatkan efisiensi di dalam perusahaan masing-masing. Efisiensi mungkin ya akan berujung ke pengurangan tenaga, tapi itu alternatif terakhir. Sebelum itu tentunya kami lebih efisien dalam bekerja. Mana yang pekerjaanya bisa dikurangi, bagaimana kami bisa produksi barang dengan biaya yang rendah, gitu saja," ujarnya.

Meski situasi terlihat suram, Ketut Dharma tetap melihat adanya peluang strategis. Beberapa negara seperti China dan Thailand dikenai tarif lebih tinggi dibanding Indonesia. Hal ini membuka potensi pergeseran pasar AS ke Indonesia.

"Kemungkinan besar kami juga bisa mengambil produk yang selama ini dibeli oleh Amerika dari China, terus di-switch ke kami. Itu harus kami ambil juga peluangnya," tutupnya.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads