"Insentif fiskal bagi eksportir yang terdampak bisa membantu mereka bertahan dan tetap berkembang di tengah tekanan kebijakan proteksionisme dari AS," tutur Suardana kepada detikBali, Jumat (4/4/2025).
Suardana menyarankan agar pemerintah mencari pasar baru seperti Uni Eropa dan ASEAN. Negara-negara di kawasan tersebut bisa dioptimalkan untuk pasar baru produk ekspor dari Tanah Air.
Suardana juga menekankan pentingnya pendampingan pemerintah terhadap UMKM. "Program peningkatan nilai tambah ekspor harus diperkuat, seperti sertifikasi internasional dan inovasi produk, agar tetap kompetitif meski menghadapi tarif tinggi," ujar ekonom tersebut.
Para eksportir, Suardana berujar, juga harus memanfaatkan pemasaran digital. Tujuannya, membuka pasar lebih luas sehingga tidak bergantung kepada negara tertentu.
Sebelumnya, Suardana berpendapat kenaikan tarif impor 32 persen yang diterapkan oleh Donald Trump bakal memukul produk ekspor dari Pulau Dewata. "Produk seperti kerajinan tangan, tekstil, dan produk pertanian khas Bali akan mengalami tekanan harga, yang dapat mengurangi permintaan," tuturnya.
Akibatnya, Suardana melanjutkan, pendapatan UKM yang bergantung pada ekspor ke negeri Abang Sam bakal menurun. "Bisa berujung pada kemungkinan pengurangan tenaga kerja," tutur ekonom tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) Bali menyebut nilai ekspor Provinsi Bali ke luar negeri menembus angka US$ 482,49 juta. Ini merupakan jumlah kumulatif sejak Januari 2024 sampai dengan September 2024.
AS menjadi negara dengan tujuan ekspor tertinggi dengan nilai mencapai US$ 14,69 juta. Komoditas ekspor tersebut antara lain kerajinan tangan, tekstil, dan produk pertanian khas daerah.
(gsp/hsa)