Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB mengusulkan kenaikan nominal Upah Minimum Pekerja (UMP) sebesar 8-12 persen di tahun 2025 mendatang. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB menilai tuntutan itu cukup berat diwujudkan karena kondisi kondisi ekonomi tengah lesu.
Untuk itu, Disnakertrans mendorong penerapan upah pekerja berbasiskan produktivitas. Kepala Disnakertrans Nusa Tenggara Barat (NTB) I Gede Putu Aryadi mengatakan pengupahan berbasis produktivitas sangat penting. Hal itu sebagai solusi untuk menciptakan keadilan bagi pekerja yang telah lama bekerja di perusahaan.
Karena itu, Disnakertras terus melakukan pembinaan dan mendorong perusahaan agar menerapkan, serta menyusun struktur dan skala upah. Sehingga mampu menerapkan sistem pengupahan yang berbasis produktivitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sistem pengupahan yang selama ini fokus pada Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), sering kali tidak adil bagi pekerja berpengalaman yang memiliki kompetensi dan etos kerja tinggi," katanya di Mataram, Kamis (24/10/2024).
Sesuai Pasal 26 pada PP Nomor 51 Tahun 2023, formula perhitungan upah minimum mencakup tiga variabel. Yakni, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Setiap daerah memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda. Sehingga parameter penentuan upah tidak bisa disamakan, antara daerah yang berpenduduk banyak dengan daerah yang kecil atau terpencil.
"Selama ini masih banyak perusahaan yang menjadikan UMP dan UMK sebagai standar gaji/upah. Padahal, UMP-UMK hanya berlaku untuk pekerja baru," ujarnya.
Aryadi menyebutkan berdasarkan data WLKP Online, jumlah perusahaan di NTB sebanyak 27.983. Namun yang sudah menerapkan struktur dan skala upah (SuSu) hanya 375 perusahaan. Dirinya berharap ke depannya makin banyak perusahaan yang menerapkan SuSu, sehingga bisa mensejahterakan pekerja dengan upah yang layak, berkeadilan, dan berkelanjutan.
"Karena akan berdampak pada hubungan industrial yang harmonis," imbuh Aryadi.
Dia menegaskan hubungan industrial yang baik harus didasarkan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Baik itu bagi pekerja maupun perusahaan. Perusahaan memiliki kewajiban untuk mematuhi norma ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara pekerja diharapkan dapat memberikan kontribusi produktif bagi perusahaan.
"Kita harus terus bergerak menuju pengupahan berbasis produktivitas. Perusahaan tidak mungkin membayar upah tinggi jika pekerjanya tidak produktif. Begitu juga sebaliknya, pekerja yang produktif tentu berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan," tutur dia.
Penyusunan skala, Aryadi melanjutkan, upah tidak bisa lepas dari analisis jabatan, evaluasi jabatan, dan beban kerja. Pekerja yang beban dan risiko kerja tinggi tidak mungkin akan memperoleh upah yang sama dengan pekerja dengan risiko dan beban kerja rendah.
Sebab itu, perusahaan harus mampu mengukur produktivitas pekerjanya berdasarkan kompetensi dan tanggung jawab yang pekerja emban. Agar perusahaan dan pekerja memiliki acuan yang jelas terkait target dan kompensasi.
"Beban, kondisi, dan risiko kerja adalah hal yang mendasar dalam penyusunan struktur dan skala upah," jelas mantan Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB tersebut.
Sementara itu, Aryadi menjelaskan, pihaknya terus berupaya mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Baik dari HRD perusahaan maupun serikat pekerja. Ada beberapa permasalahan yang kerap terjadi di lapangan terkait pengupahan. Di antaranya, seperti kasus keterlambatan pembayaran upah, perbedaan pendapat mengenai jumlah upah, hingga ketidaktahuan pekerja maupun perusahaan terkait aturan insentif.
"Dalam banyak kasus, masalah pengupahan berlarut-larut karena kurangnya komunikasi yang baik antara perusahaan dan pekerja. Kami selalu mendorong agar konflik diselesaikan melalui dialog dan mediasi, sehingga tidak perlu sampai ke pengadilan, yang tentunya akan memakan biaya dan waktu," tandasnya.
Sebelumnya, pembina dan penasihat Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB I Gusti Lanang Patra menilai kondisi pengusaha di NTB saat ini dalam kondisi lesu. Hal itu terlihat dari belum adanya investasi di NTB yang baru hingga saat ini. Sehingga, permintaan serikat pekerja di NTB terkait kenaikan UMP di 2025 dinilainya cukup tinggi.
"Dari sana bisa kelihatan lesu, jadi buruh tidak bisa nuntut segini segitu," katanya di Mataram kepada detikBali.
Permintaan kenaikan UMP hingga di angka 12 persen dinilai Lanang cukup memberatkan pengusaha di NTB. Hal ini terjadi lantaran penjualan pengusaha saat ini cenderung menurun sehingga pendapatan juga ikut menurun.
"Sedangkan pengeluaran cenderung naik, makin tahun makin turun (keuntungan kita). Belum lagi terjadi persaingan di antara pengusaha yang semakin ketat. Kalau upah naik, orangnya (buruh) dikurangin, jadi kita serba salah, itu kondisi kita. Kondisi pengusaha berat, (usulan buruh menaikkan UMP) ini memberatkan," tandasnya.
(hsa/hsa)