Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB), melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakeswan) membatasi pengiriman hewan kurban ke luar daerah. Pengusaha dan peternak hewan ternak di Kabupaten Bima merespons kebijakan itu.
Ketua Gabungan Pengusaha Hewan Nasional Indonesia (Gapehani) Kabupaten Bima, Abdul Khair, memaklumi kebijakan tersebut. Musababnya pengiriman hewan ternak juga berdasarkan tingkat populasi.
"Kami maklumi adanya kebijakan ini. Suka tidak suka, hewan ternak dikirim ke luar daerah juga berdasarkan jumlah populasi," kata Khair kepada detikBali, Selasa, (4/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Khair melanjutkan, kebijakan pembatasan pengiriman hewan kurban ke luar daerah juga harus disertai dengan perbaikan serta peningkatan kualitas angkutan khusus hewan ternak.
"Harus ada timbal balik antara kebijakan yang dikeluarkan dengan peningkatan kualitas angkutan hewan ternak. Kalau bisa armada pengangkutan diperbanyak," katanya.
Menurut dia, selama ini pengusaha kesulitan saat akan mengirim hewan ternak untuk kurban ke luar daerah. Pasalnya armada pengangkutan hewan ternak masih sangat minim dan terbatas, baik melalui jalur darat dan laut.
"Mobil tronton susah didapat. Begitupun kapal tol laut, jadwalnya sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan antrian panjang di pelabuhan dan otomatis biaya operasional pengiriman hewan ternak ikut membengkak," katanya.
Dia berharap pemerintah juga tidak asal mengeluarkan kebijakan, namun juga tidak pernah memberikan subsidi bantuan kepada pengusaha yang membawa hewan ternak ke daerah tujuan, seperti di wilayah Jabodetabek hingga Bandung, Jawa Barat.
"Murni pakai anggaran sendiri. Tidak pernah diberikan bantuan atau subsidi sama sekali," katanya.
Padahal, di satu sisi pengiriman hewan kurban ke luar daerah menguntungkan pemerintah daerah karena menjadi sala satu pendapatan asli daerah (PAD). Pembuatan izin hewan ternak yang dikirim ke luar daerah ditarik sebesar Rp 60 ribu per ekor.
"Bayangkan saja di kali berapa ribu ekor. Itu semuanya masuk ke kas daerah," imbuh Khair.
Muhammad Khardi, peternak asal Bima yang menjual sapinya di Tangerang, Banten, tidak mempersoalkan pemerintah membatasi pengirim hewan kurban ke luar daerah. Namun yang perlu diperhatikan adalah armada pengangkutan.
"Tidak masalah dibatasi. Tapi pemerintah juga perlu memperhatikan armada pengangkutan hewan ternak yang masih minim," ujarnya.
Menurut dia, akibat minimnya armada pengangkutan membuat pengiriman hewan ternak ke luar daerah sering terlambat. Bahkan harus menunggu kapal berhari-hari hingga berminggu-minggu karena banyaknya antrian mobil tronton yang mengangkut sapi di pelabuhan.
"Ini kendala yang terjadi setiap tahun. Saya harapkan bisa dibenahi oleh pemerintah," harapnya.
Warga Desa Rasabou Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, itu mengungkapkan satu ekor sapi biaya operasional pengiriman ke luar daerah sebesar Rp 1,5 juta. Belum lagi biaya kandang Rp 1,5 juta per ekor. Hingga jasa marketing Rp 1 juta per ekor.
"Biayanya bisa habis Rp 4 juta per ekor. Belum lagi biaya hidup (malam dan minum). Ini kita pakai modal (uang) sendiri," sebutnya.
Khardi menambahkan besaran pengeluaran itu dianggap biasa saja, apabila harga jual hewan ternak sesuai yang ditentukan. Misalnya harga sapi berat 200 kilogram (kg) terjual Rp 15 juta dan yang berat 500 kg laku terjual Rp 35 juta.
"Syukur-syukur harga jualnya stabil. Kalau tidak, otomatis kembali modal dan rugi banyak," ujarnya.
Lain halnya dengan Suharlin, peternak sapi asal Desa Tangga, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima. Ia memilih untuk tidak menjual sapinya ke luar daerah bukan karena adanya pembatasan pengiriman hewan kurban oleh pemerintah.
"Tidak dibawa ke luar daerah, cukup dijual di sini saja," katanya.
Menurutnya, permintaan hewan kurban di Bima juga masih banyak. Selain itu, harga jualnya juga cukup menjanjikan, yakni berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 13 juta per ekor.
"Jual disini juga tidak perlu keluar biaya angkutan ataupun kandang. Yang jelas hasilnya sama saja, walaupun ada selisihnya," imbuhnya.
(dpw/dpw)