Petani Jatiluwih Sulit Jual Gabah Beras Merah padahal Panen Melimpah

Petani Jatiluwih Sulit Jual Gabah Beras Merah padahal Panen Melimpah

Chairul Amri Simabur - detikBali
Minggu, 11 Jun 2023 17:01 WIB
I Ketut Nuarta sedang menjemur sigih atau ikatan gabah beras merah pada sawah sebelah rumahnya di areal Subak Jatiluwih Tempeken Gunung Sari, Minggu (11/6/2023).
Foto: I Ketut Nuarta sedang menjemur sigih atau ikatan gabah beras merah pada sawah sebelah rumahnya di areal Subak Jatiluwih Tempeken Gunung Sari, Minggu (11/6/2023). (chairul amri simabur/detikBali)
Tabanan -

Para petani di Subak Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sedang menyambut masa panen padi beras merah. Setidaknya hampir sepekan terakhir ini.

Namun, di saat hasil panen yang sedang melimpah, beberapa petani justru kesulitan menjual gabah beras merah. Kondisi ekonomi akibat pandemi COVID-19 ditengarai sebagai salah satu penyebabnya.

Dampak ekonomi pandemi COVID-19 yang masih terasa hingga sekarang diduga membuat sebagian besar pemilik pabrik penggilingan gabah enggan melakukan pembelian karena kesulitan modal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mungkin karena belum pulih (secara ekonomi) yang buat agak sulit mendapatkan pembeli," jelas I Ketut Nurata (62), petani di Subak Jatiluwih, Tempekan Gunung Sari, Minggu (11/6/2023).

Ia menyebut harga untuk hasil panen pada musim sekarang mengalami penurunan. Sebelum pandemi COVID-19, penjualan gabah beras merah yang belum diolah dalam satu kuintal bisa mencapai Rp 1,2 juta.

ADVERTISEMENT

"Sekarang sudah turun jadi Rp 700 ribu per kuintal untuk yang belum diolah. Tapi orang yang beli tidak ada," sebut Nurata yang sedang menjemur hasil panennya.

Nurata mengaku belum lama memanen padi beras merah yang ditanam pada awal Januari 2023 pada lahan seluas 30 are. Hasil panen yang ia peroleh sekarang berkisar 1,5 ton gabah.

Saat ini, hasil panen yang diikat dan disebut dengan sigih itu sedang dikeringkan. Sebagian sigih dibeber pada lahan sawah yang bersebelahan dengan rumahnya. Sebagiannya lagi di pekarangan rumah.

"Sekarang lagi dijemur. Lamanya bisa sampai dua mingguan. Tergantung kondisi cahaya matahari juga," jelasnya.

Dengan kondisi seperti sekarang, Nurata menyebut seluruh sigih yang sedang dijemur saat ini akan disimpan di lumbung untuk konsumsi keluarganya. Bila ada yang membeli, barulah ia akan menjualnya.

"Pakai kebutuhan sehari-hari dulu. Nanti kalau dipakai baru digiling," tukasnya.

Cerita yang sama dengan Nurata dituturkan Ni Putu Sriasih (70). Bahkan, Sriasih saat ini sedang mengeringkan sekitar tiga ton gabah beras merah. Hasil itu diperoleh dari penanaman pada lahan seluas 70 are.

"(Pandemi) COVID-19 ini (mungkin penyebabnya). Caket (macet) uangnya yang punya-punya selip (pabrik penggilingan)," keluh Sriasih sembari menjemur sigih di sawahnya.

Padahal menurutnya, hasil panen saat ini merupakan yang terbaik dibandingkan dua periode sebelumnya. Sebab, hasil panen musim ini sedikit yang rusak akibat hama tikus.

"Sekarang ini yang paling bagus. Tahun kemarin itu jeblok hasilnya karena dirusak tikus. Apalagi (panen) yang dua tahun lalu, bingung saya. Jeblok sekali hasilnya. Saya sampai rugi Rp 4 juta," sebutnya.

Kini, saat hasil panen melimpah, ia justru berhadapan dengan situasi sepinya pembeli. Sekalipun harga jual gabah sudah turun dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 700 ribu per kuintal.

"Harganya sudah murah tetap tidak ada yang beli. Padahal di sekeliling saya ini ada enam selip (pabrik penggilingan). Kan bingung saya," ungkapnya.

Sama seperti yang akan dilakukan Nuarta, Sriasih akan menyimpan gabah beras merah hasil panennya di lumbung untuk keluarganya sembari menunggu pembeli.

"Biasanya nanti ada saja yang beli. Entah satu kilo atau dua kilo untuk obat kencing manis," tukas Sriasih.




(hsa/nor)

Hide Ads