Sabtu sore (16/8/2025) jarum jam mengarah ke angka empat. Sinar matahari masih cukup terik. Beberapa warga tampak sedang menikmati sore, bercengkrama bersama tetangga di sebelah rumah.
Ada juga segerombolan remaja yang sedang bermain layangan di gundukan tanah bercampur sampah. Bukan sampah biasa, melainkan gunungan sampah.
Namun, bagi para penghuni di sekitar TPA Suwung, sampah adalah sahabat. Sebagian warga lahir dan besar di sana. Permukiman itu sendiri terletak di sisi utara TPA Suwung, dengan satu nama jalan, yakni Jalan Pesanggaran Gang Merpati.
Baca juga: Teba Modern Bukan Solusi Jangka Panjang |
Layaknya permukiman menengah ke bawah, ada bangunan rumah semipermanen dan permanen. Ada juga dua bangunan kos yang sedang dalam proses pemangunan.
Kondisi jalan di permukiman itu tidak buruk. Jalanan terbuat dari blok cor-coran beton atau paving. Ada selokan dan lebar jalan yang cukup untuk satu mobil dan dua motor.
Di sisi utara, adalah lahan yang difungsikan untuk memilah dan menyimpan sampahnya di karung besar berwarna putih yang dibawa puluhan pemulung dari TPA Suwung. Bangunannya, semi permanen seperti pasar tradisional yang memanjang dan terbagi menjadi beberapa bilik.
Anton (35), adalah warga Jalan Pesanggaran yang tidak setuju dengan rencana penutupan TPA Suwung. Sebab, dia dan banyak anggota keluarganya menggantungkan hidup dari sampah.
"Kalau dibilang nggak setuju ya pasti. Karena, sandang pangan. Adik saya pengepul dan orang - orang yang kerja (di TPA Suwung)," kata Anton ditemui detikBali di TPA Suwung, Sabtu.
Anton mengaku tinggal di permukiman itu sejak lahir. Dia dibesarkan oleh orang tua yang berprofesi sebagai pemulung dan pengepul sampah di TPA Suwung.
Tak hanya orang tuanya. Beberapa sanak saudaranya juga bekerja di TPA itu sebagai pengepul dan pemulung. Selain alasan itu, Anton juga tidak memandang permukiman itu sepenuhnya tidak layak ditinggali.
Simak Video "Video: Menteri LH Minta Pramono-KDM Siapkan Lahan untuk PSEL"
(hsa/hsa)