Kasus mamalia laut terdampar di beberapa pesisir Bali seringkali terjadi. Belum lama ini ada seekor lumba-lumba terdampar di Bali utara. Kemudian, paus terdampar di wilayah Kuta, dan penyu di Pantai Legian, Badung.
Menurut Abdul Latif Muhammad, dokter hewan dari Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia (WAI), organisasi yang berfokus pada konservasi dan perlindungan mamalia laut serta penyu di wilayah pesisir, fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Latif menjelaskan faktor alam hingga campur tangan manusia bisa menjadi penyebab mamalia laut terdampar di pesisir Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu penyebab yang paling sering adalah perubahan iklim, di mana suhu air laut berubah, sehingga pola migrasi hewan terganggu. Mereka bisa tersesat atau kelelahan saat mencoba kembali ke perairan dalam," ujar Latif, Kamis (13/3/2025)
Masalah polusi laut juga tidak bisa diabaikan. Dia mengungkapkan beberapa hewan yang terdampar ditemukan dengan lambung yang dipenuhi plastik. "Mamalia laut sering mengira plastik sebagai ubur-ubur atau makanan lain, yang kemudian menyumbat sistem pencernaan mereka dan menyebabkan kematian," katanya.
Ketika mamalia laut terdampar, proses penanganan harus dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan koordinasi beberapa pihak. Latif menjelaskan tim dari WAI selalu bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL), Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK), serta kepolisian setempat untuk menangani kasus terdamparnya satwa laut.
Mamalia laut yang terdampar diklasifikasikan berdasarkan kondisinya. Latif menjelaskan Ada lima kode yang digunakan. Kode 1, hewan masih hidup, kode 2 (hewan sudah mati tapi masih segar), kode 3 (hewan mati dan mulai membusuk), kode 4 (hewan sudah busuk dan mengeluarkan bau), dan kode 5 (hanya tersisa kerangka).
Menurut Latif, penentuan kode ini penting untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, seperti penyelamatan atau penguburan.
"Kami memiliki prosedur standar untuk mengidentifikasi kondisi hewan yang terdampar. Jika masih hidup, kami mencoba mengembalikannya ke laut, tetapi jika sudah mati, kami melakukan pengambilan sampel untuk penelitian lebih lanjut, termasuk uji DNA untuk mengetahui jenis spesies dan kemungkinan penyebab kematian," urai pria 27 tahun itu.
Sampel tersebut kemudian diuji di laboratorium guna mendapatkan informasi lebih detail mengenai kondisi mamalia laut sebelum terdampar, tapi hasilnya tidak bisa instan. Latif menjelaskan untuk mengetahui hasilnya bisa membutuhkan waktu sekitar tiga pekan.
Penanganan mamalia laut terdampar tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga konservasi, tetapi juga masyarakat. Jika menemukan mamalia laut terdampar, masyarakat diimbau untuk tidak mencoba menangani sendiri, terutama jika hewan sudah dalam kondisi membusuk.
"Jangan mendekati satwa tanpa alat pelindung yang memadai, karena hewan yang mati bisa membawa penyakit atau menyebabkan infeksi. Hubungi pihak berwenang seperti penjaga pantai atau lembaga konservasi untuk mendapatkan bantuan," tegas Abdul Latif.
(hsa/hsa)